Siswa Swedia membutuhkan lebih banyak buku pelajaran, buku fisik penting untuk pembelajaran siswa (Lotta Edholm, Menteri Sekolah Swedia)
Hingar-bingar dunia pendidikan dasar di Indonesia ketika masih ada kegamangan pada pemberlakuan program Merdeka Mengajar, Merdeka Belajar, Platform Merdeka Mengajar dan lain-lain "Merdeka" dalam pendidikan, masih akan terus berlangsung. Pada saat yang sama proses dan kegiatan mengajar-belajar tidak dihentikan atas alasan polemik, adu argumentasi baik pada birokasi pendidikan, politisi, pengamat pendidikan/akademisi, hingga praktisi pendidikan (guru, tendik).Â
Pada saat terjadi loncatan dampak covid-19 dengan pemberlakuan kurikulum darurat/penyesuaian, pembelajaran daring pun diberlakukan hingga terbit brbagai program merdeka dengan elemen-elemennya. Semua itu disebutkan sebagai pendekatan untuk segera mengisi kekosongan atau jurang apa yang disebut learning lost.Â
Para polemikus sering pula membandingkan dunia pendidikan di beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia dan Jepang hingga negara dengan kualitas produk pendidikan terbaik di dunia seperti Finlandia, dan Swedia salah dua negara-negara Nordik di Eropa. Negara-negara yang sering disebutkan itu bukan saja sedang mengalami loncatan, tetapi gerak majunya cepat dengan pendekatan yang amat humanis. Acuan terbaik mereka yakni:
- kesejahteraan murid, kesempatan yang sama, pembelajaran individual
- sedidkit ujian, otonom yang dimiliki guru
- budaya menghormati guru
Perhatian pemerintah pada negara-negara dengan proses dan produk pendidikan berkualitas itu selalu menjadi mimpi pula di dunia pendidikan Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi terus mencari formulasi terbaik sebagai "obat" yang dapat menyembuhkan "penyakit pendidikan" di Indonesia.
Di antara formula itu sebagaimana yang sering muncul yakni:Â
- perubahan kurikulum yang ikutannya pada buku guru dan buku murid/peserta didik
- pergeseran paradigma pendekatan pembelajaran yang adaptif terhadap zaman
Pada sisi lainnya terdapat sejumlah permasalahan pendidikan:
- kekurangan tenaga guru (resmi yang diangkat oleh pemerintah, yayasan penyelenggara pendidikan) yang ditambalsulami dengan guru  dengan status honorer
- kesejahteraan guru yang diimingi melalui gaji dan tunjangan profesi yang belum semua guru dapat menikmatinya
- kesenjangan kualitas produk (out put) pendidikan antar daerah kabupaten, kota dan provinsi, seringkali hal ini dijadikan materi perbandingan, buli dan pengambilan kebijakan yang tetiba dari pemerintah daerah. Contohnya, masuk jam 5 pagi untuk sekolah menengah atas dan kejuruan di Nusa Tenggara Timur. Analisis dan dampaknya kabur ??
- kesenjangan ketersediaan fasilitas belajar antar sekolah favorit dan non favorit, sekolah negeri dan swasta, sekolah perkotaan dan pedesaan hingga kampung nelayan; bahkan terdapat sekolah-sekolah dengan standar-standar tertentu yang berafiliasi dengan sekolah sederajat di luar negeri yang menjadikan sekolah-sekolah itu menjadi sekolah kaum elit.
- bangunan yang baik dan ketersediaan listrik, air, dan jaringan internet
- infrastruktur jalan dan jembatan menuju ke lokasi sekolah-sekolah
- dan mungkin masih ada lagi permasalahan lainnya.Â
 Semua ini tentu saja mendapat atensi dari pemerintah di semua jenjang, namun dapat dipastikan bila ditanyakan, akan ada jawaban normatif:
- kewenangan pemerintah pusat ada pada peraturan: Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri. Peraturan-peraturan itu akan secara teknis mengatur penyelenggaraan pendidikan, penerimaan guru, hingga tata kelola kesejahteraan mereka.
- kewenangan pemerintah daerah provinsi pada sekolah-sekolah menengah atas umum dan kejuruan
- kewenangan pemerintah daerah kabupaten dan kota pada pra sekolah (PAUD/TK) sekolah dasar dan sekolah menengah pertama
- kewenangan kementerian agama untuk sekolah-sekolah di bawah naungannya
Intervensi Pemerintah Pusat (dhi Kemdikbudristek) tentulah hanya pada kebijakan; sedangkan impelementasi kebijakan itu ada di tangan pemerintah daerah.
Mungkinkah pemerintah daerah dapat membuat kebijakan untuk menjawab kebutuhan sesuai konteks lokal di daerahnya?