Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudah 79 Tahun Kita Merdeka untuk Apa?

6 Agustus 2024   10:57 Diperbarui: 6 Agustus 2024   11:19 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: tintahijau.com

Sejarah terus berlangsung dalam urai waktu yang tidak akan berhenti. Bangsa dan negara ini  tidak sedang stagnan manakala demokrasi dan segala keadaan sosial mengganggu. Kondisi alam yang telah tereksploitasi atas nama pembangunan yang berdampak pada berbagai bencana, masih akan terus menyapa bangsa ini. Konteks dan perkembangan komunikasi dan informasi dari dunia luar baik bilateral maupun multilateral untuk kesetaraan hendak menjamin kehidupan yang damai di planet bumi ini. Maju, maju walau seret jalannya pun harus terus maju.

Merdeka!
Dia telah menjadikan bangsa ini melewati fase-fase pembangunan semesta berencana dengan garis-garis besar haluan negara (GBHN). GBHN sebagai wujud dari pelaksanaan pasal konstitusi berlangsung dalam masa apa yang disebut Orde Baru (Orba). Orba "mengebiri" hak bicara dan suara ke dalam partai politik yang terbatas dan satu golongan masyarakat berisi kaum elit. Pasal konstitusi tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat lisan dan tulisan tersurat, namun disiratkan dalam praktiknya atas nama stabilitas.

Stabilitas politik, mengantarkan bangsa ini memilih hanya seorang saja sebagai pemimpin tertinggi hingga pendekatan melegitimasi kroni dalam jabatan-jabatan penting dan prioritas. Para kroni tersenyum dan dengan langkah ringan keluar dari ruangan mewah berhawa sejuk sambil mengisi kantong-kantong dengan usaha membangun di berbagai sektor. Mereka menjadi penguasa lahan ekonomi dan menjadikan masyarakat objek "penjajahan" baru atas nama pembangunan berkesinambungan untuk kesejahteraan yang adil dan makmur.

Transmigrasi berhasil mensejahterakan banyak transmigran terutama yang secara beramai-ramai melakukan bedol desa. Mereka menjadi pelaku ekonomi baru di lokasi dengan membawa semangat pembaharuan di sana hingga membentuk kota-kota baru yang mengantar generasi baru di sana hingga tiba pula di berbagai bidang dan sektor. Mereka yang merasa "disengsarakan" lari terbirit-birit meninggalkan kekayaan yang diserahkan negara kepada mereka, sambil mencoba peruntungan baru.

Bedol desa meninggalkan lahan kosong, selanjutnya digenangi agar ada waduk-waduk yang kelak dapat mengairi area persawahan seluas mungkin. Politik pemberasan, beras mengantarkan masyarakat mencapai swasembada pangan. Sungguhkah itu? Tentu saja, bahkan Badan pangan dunia mengakuinya, tetapi dimanakah kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan itu?

Pancasila dihidupkan laksana agama baru di ranah sekularisme. Setiap warga negara wajib mengikuti penataran pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. Ayat-ayat diturunkan dari 5 butir pancasila menjadi 36 butir yang dihafalkan selalu bahkan oleh mereka yang duduk di birokrasi mulai dari  pelaksana hingga pengambil keputusan yang bijaksana, dari pejalan kaki hingga mereka yang terbang dan duduk manis di dalam pesawat, atau yang sedang mengayuh sampan, hafalannya sama dengan mereka yang duduk di kapal mewah.

Siapa yang dapat menghalau lajunya jargon stabilitas di segala bidang dengan sejumlah asas pembangunan dan berbagai operasi di wilayah rawan konflik? Kritik bagai dibungkam dan intrupsi dalam sidang-sidang badan legislatif, tabu. Bila ada kalimat atas petunjuk bapak, mana mungkin lembaga legislatif yang terdiri dari anggota dewan terpilih, utusan daerah, golongan dan angkatan bersenjata akan bersuara?

Semua langkah bijak dalam masa merdekanya Orde Baru pupus ketika kaum kritikus di jalanan mengobarkan api reformasi. Korban berjatuhan menyisakan pilu keluarga-keluarga korban. Para pegiat hak asasi manusia dan demokrasi makin berani tampil, garang dan garing suara mereka di panggung-panggung dan ruang-ruang diskusi.

Ruang sidang lembaga legislatif tertinggi akhirnya memutuskan untuk melegitimasi pemimpin tertinggi baru menggantikan pemimpin berdarah dingin dengan wajah selalu senyum indah. Gambaran kehidupan sang pemimpin merakyat di tengah kemelaratan rakyatnya yang jelata. 

Pembangunan semesta berencana dengan GBHN dan pembangunan lima tahun (pelita) pun berhenti sejenak. Kesejenakan ini tidak berlangsung lama oleh karena transisi pemegang kendali mengantarkan satu wilayah mengucapkan selamat tinggal dan berpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia. Kelahiran negara baru di tengah perubahan suasana bathin  bangsa dan negara memasuki reformasi. Reformasi yang hendak melakukan pembenahan formasi-formasi kelembagaan dan institusi yang akan menatakelola sumber daya untuk mencapai visi bangsa dan negara yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Undang-Undang Dasar 1945 pun mendapat sentuhan perubahan (amandemen). Siapa menduga jika dalam waktu yang amat pendek telah terjadi pergantian kepemimpinan Nasional? Lebih cepat daripada masa kepemimpinan sebelumnya yang sangat lama menduduki singgasana istana negara. Pucuk kepemimpinan nasional berganti dengan gerakan teramat cepat untuk segera melakukan perubahan pada pasal-pasal konstitusi. Kecepatan karya para legislator akhirnya menghapus lembaga tertinggi dan menyisakan lembaga-lembaga tinggi saja, dan menghapus pula salah satu lembaga tinggi untuk selanjutnya masuk dalam kenangan sejarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun