Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Romantika Problematik Pembelajaran di Sekolah Dasar Pedesaan

21 Juni 2024   19:21 Diperbarui: 21 Juni 2024   19:26 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembagian Laporan Hasil Belajar

Jumat (21/6/24) bertempat di Gedung Sekolah Dasar Inpres Nekmese berlangsung paling kurang dua kegiatan yakni: pengarahan awal kepada orang tua murid dan pembagian hasil belajar murid. Pengarahan awal berlangsung di salah satu ruang kelas sebagai aula, dan selanjutnya para orang tua murid bergegas ke ruang kelas sesuai peruntukannya untuk menerima hasil kerja bersama tiga pihak: guru, murid dan orang tua.

Sekolah Dasar Inpres Nekmese pada tahun pelajaran 2023/2024 mempunyai murid sebanyak 107 murid. Murid sebanyak itu terdiri dari: 

  • Kelas I,  23 orang (L : 12   P : 11)
  • Kelas II, 23 orang (L : 10  P : 13)
  • Kelas III, 15 orang (L : 7   P : 8)
  • Kelas IV, 22 orang (L : 11   P : 11)
  • Kelas V, 13 orang (L : 4  P : 9)
  • Kelas VI, 11 orang (L : 5  P 6)

Pada tanggal 10 Juni 2024 dalam acara pengumuman kelulusan, 11 murid kelas VI sebagai peserta Ujian Sekolah semuanya dinyatakan lulus (100%). Pernyataan kelulusan ini berdasarkan hasil kerja keras tiga pihak: murid, guru dan orang tua.  Dapat dibaca di sini. Demikian pula halnya dengan kenaikan kelas.

Murid yang dinyatakan lulus; foto: Ansel Bani
Murid yang dinyatakan lulus; foto: Ansel Bani

Romantika Problematik Guru Pedesaan


Sebagai lembaga pendidikan, Sekolah Dasar Inpres Nekmese telah menyelenggarakan proses mengajar-belajar pada tahun pelajaran 2023/2024 dengan segala romantika problematik yang dihadapinya. 

  • Tuntutan dunia digitalisasi. Dunia digitalisasi telah merambah ruang-ruang kelas ketika berbagai macam aplikasi diciptakan dengan situs (platform) yang menyertainya. Murid, guru dan orang tua dituntut secara amat keras namun dalam kesenyapan agar terus membekali diri sekaligus mempraktikkan hasil pembekalan diri itu ke dalam ranah kerja. Ranah kerja itu menggunakan produk teknologi informasi. Produk teknologi informasi yang paling mudah dijangkau yakni telepon genggam yang pintar (smartphone), di samping laptop sehingga keduanya dapat dengan mudah dibawa ke mana pun pergi, di mana pun berada. Guru yang siap berhadapan dengan dunia digital akan ringan saja. Hal ini terjadi pada kalangan sarjana pendidikan usia muda (25 - 50 tahun).  Sementara itu guru yang telah mencapai umur 50 tahun menuju 60 tahun kiranya dapat dihitung dengan jari kemampuan mengakses dunia digital. Maka, tidak mengherankan bila tuntutan kerja Pengelolaan Kinerja di dalam Platform Merdeka Mengajar mesti dipaksa (termasuk saya). 
  • Tuntutan kreativitas dan inovasi dalam kerangka pembelajaran yang aktif, kolaboratif dan menyenangkan. Suatu hal yang tidak selalu mudah dilakukan oleh guru di pedesaan yang selalu merasa kurang, kurang dan kurang. Bila ada tuntutan untuk memulai sesuatu, memintakan agar mengkreasikan sesuatu yang sifatnya kolaboratif dan menyenangkan, tidak semudah yang diharapkan. Bahwa pada titik waktu di saat mana mereka mampu melakukannya, terasa lelahnya, namun menunjukkan kepuasan. 
  • Durasi keberadaan (guru) di lingkungan sekolah. Rasanya tidak banyak sekolah di pedesaan yang mampu menerapkan waktu belajar reguler yang tepat (maksimal 7-8 jam sehari). Hampir semua sekolah menerapkan durasi keberadaan di lingkungan sekolah antara 4 - 5 jam sehari. Jam yang dimaksudkan di sini yakni jam belajar yang tiap jamnya antara 35 - 45 menit bergantung pada jenjang/kelas mana. Oleh karena itu, banyak tugas yang tidak tuntas. Belum termasuk di dalamnya upaya mengkreasikan media pembelajaran. Tidak banyak guru mampu mengkreasikan media pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang ditandatangani kepala sekolah tidak disertai media pembelajaran. Harap maklum saja.
  • Banyak alasan untuk tidak masuk sekolah. Urusan keluarga menjadi alasan paling dominan. 

Kerinduan Guru Pedesaan

Guru pedesaan sungguh merindukan perubahan walau terseok-seok. Maka, berbagai upaya dilakukan untuk mencapai kesejajaran dengan sekolah-sekolah di bibir dan di dalam area perkotaan. 

  • Pendampingan yang intens oleh para pengawas sekolah. Kunjungan para pengawas sekolah selalu dinantikan. Para pengawas akan membawa "kabar baik" dalam kerangka pergeseran pendekatan untuk mengkreasikan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, kolaboratif dan menyenangkan. 
  • Sebahagian guru (terutama yang sudah senior ~ tua, rada sepuh) menyerahkan tugas yang berhubungan dengan dunia digitalisasi kepada guru-guru muda usia. Para guru muda usia tentu lebih mahir dalam mengoperasikan produk teknologi informasi. Mereka mengakses internet dan ragam platform lebih baik. Keterseokan para guru (senior~tua) tetap akan berada di belakang walau itu disebut terlambat. 
  • Entah harus menemukan kemudahan seperti apa? 

Demikian sekelumit romantika problematik menjadi guru di pedesaan.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 21 Juni 2024

Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun