Seorang sahabat mengirim pesan WhatsApp, "mohon bantuan, tolong tulis puisi  untuk dibacakan saat upacara penguburan jenazah kekasih kami di sini!"Â
Pesan ini masuk pada pukul 01.00 WITa, saat itu saya sudah lelap. Pesan ini baru terbaca pada pagi harinya ketika saya dan keluarga sedang bersiap-siap untuk mengikuti ibadah Minggu pagi.
Ketika berada di ibadah, ada sela waktu di mana anggota majelis jemaat sedang bersiap-siap, saya pakai peluang itu menulis puisi ini, dan mengirimkan kepada sahabat yang memintanya. Â Bunyinya begini:
Bapa...
Bila hari kemarin milik kita bersama
Di sana aksara kau beri sebagai karya
kata kau sematkan sebagai nasihat
Frasa kau tempatkan bagai bingkai kehidupan
Kita melangkah melintasi tanah datar dan berbukit
Kita bergandengan di keramaian kota
Hingga hari baru tiba di sini
Hari yang menyesakkan dada.
Kami merenung dalam remang duka
Lelehan air mata duka  melukai rasa
Ratap dan lara melerai peluk sayang
Kami tak lagi dipeluk dan memeluk
Senyum kau tinggalkan sebagai kenangan
Nasihat kau patri sebagai prasasti
Selamat jalan bapa...
Tersenyumlah...
Demikian ceritanya satu puisi di atas ditulis dan dikirimkan kepada sahabat saya. Ia pun membacanya dan menyampaikan terima kasih. Puisi tersebut dibacakan oleh anaknya pada upacara penguburan jenazah anggota keluarga mereka.Â
Saya sadar dan sengaja menempatkannya di sini, hehe... Semoga menginspirasi.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 5 Mei 2024
Heronimus Bani  ~ Pemulung Aksara