Dua puluh delapan November 2023 sampai 10 Februari 2024 merupakan lini masa yang diisi dengan hingar-bingar, hiruk-pikuk kampanye dalam rangka pemilihan umum serentak tahun 2024. Rasanya kampanye para calon anggota legislatif "tenggelam" di dalam kampanye pasangan calon presiden/calon wakil presiden, terlebih dalam lima seri debat. Bagai partai-partai tidak repot-repot mengeluarkan enersi  untuk kampanye karena telah diselipkan ke dalam kampanye paslon capres/cawapres. Jadi, siapa yang mengenal calon anggota legislatif di jenjang kabupaten, kota, provinsi dan pusat? Di mana pula calon anggot Dewan Perwakilan Daerah berkampanye?
Hanya baliho yang terpampang di jalan-jalan, hingga gang, bahkan di jalan yang melintas di dalam hutan pun ada baliho dalam ukuran besar. Baliho-baliho dalam berbagai ukuran itulah yang berkisah tentang siapa, apa dan bagaimana kelak? Sementara itu ada pula benner di rumah-rumah duka. Benner-benner itu pun bercerita. Cerita-cerita itu hendak menarik masuk pembacanya ke dalam ruang kesukaan dan jatuh cinta. Lalu, secara terpaksa menerima kartu-kartu bergambar wajah. Kartu-kartu itu akan mengingatkan bila telapak tangan tiba di saku baju, saku celana, dompet atau laci tas. Peringatan akan wajah dan nama person yang diutus partainya. Pilihlah.
Kini, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD dipadukan dengan Pemilihan Pasangan Presiden/Wakil Presiden. Pemilihan umum yang demikian ini terjadi untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebelumnya, pemilihan anggota legislatif dipisah dari pemilihan Presiden/Wakil Presiden.Â
Masyarakat kelas bawah yang turut hadir dan memberi andil kemeriahan pada masa kampanye kini ditenangkan. Mereka yang menenangkan duduk di ruang-ruang ber-AC, bahkan menjadikan hotel sebagai pos komando. Rumah tempat tinggal, kantor atau biro ditinggal sementara. Mereka keluar ke tempat lain untuk menemukan kenyamanan di tengah ketegangan menunggu hari pencoblosan. Mengapa tegang?
Mereka telah merajut roh ambisi kekuasaan ke dalam relung dan ruang idealisme. Idealisme itu bermain dalam ilusi akan kursi "panas" yang akan ditempati, yang oleh karenanya mereka akan mengendalikan sesuatu. Pengendalian itu sendiri hendak diarahkan dan disasarkan kepada jasa yang dapat diklaim kelak. Jasa membangun dan mengembangkan potensi masyarakat.
Masa tenang tiba setelah kesibukan mobilisasi dari satu titik kampanye ke titik berikutnya. Segala daya dukung dikerahkan sedemikian rupa untuk menghadirkan nuansa sukses dalam kampanye. Sukses kampanya  dimaknai sebagai sukses menggaet hati pemilik hak suara. Maka, ketika masa tenang tiba, pemegang hak suara tenang-tenang dalam senyum. Mereka menunggu hari pencoblosan.
Masa tenang tidak selalu tenang, justru tegang.
Pengalaman terakhir pada April 2019 terjadi di kampung/desa kami. Menjelang hari pencoblosan, tiba-tiba seorang kakek meninggal dunia. Sang kakek ditokohkan di dalam masyarakat. Jam berikutnya, seorang anggota Panitia Pemungutan Suara meninggal. Kedua jenazah ini bertetangga. Â Para petugas penyelenggara pemilihan umum sibuk menyiapkan tempat pemungutan suara. Anggota masyarakat sibuk menyiapkan tenda-tenda dukacita pada dua peristiwa kematian ini.
Sebagaimana biasanya, anggota masyarakaat akan berkunjung melayat. Malam-malam mete berlangsung. Pada malam-malam mete ini masa tenang sedang diberlakukan. Lalu, datanglah "serbuan" kaum yang tegang. Serbuan itu mengalahkan idealisme pemegang hak konstitusional untuk memberikan hak pilihnya. Idealisme untuk memilih orang terbaik bergeser menjadi memilih kaum kapitalis bermurah hati di tengah malam hingga fajar menyingsing.
Pencoblosan berlangsung aman terkendali. Siapa menduga orang yang diandalkan oleh komunitas kemudian tergantikan dengan sendirinya. Kaum kapitalis penebar kemurahan hati telah menggoyang hati pemilik hak suara untuk melakukan mutasi suara kepaa mereka.Â