Publik Indonesia akhirnya mengelus dada, bertepuk tangan, menggeleng-gelengkan kepala, mengangguk-angguk, dan lain-lain sikap. Koalisi partai-partai telah menetapkan bakal calon presiden dan wakil presiden.Â
Koalisi pertama yang menamakan diri Koalisi Perubahan dan menggerek tagline Perubahan telah mengusung Anies Rasjid Baswedan-Muhaimin Iskandar (A-MIN). Mereka terdiri dari Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pendaftaran telah dilakukan pada 19 Oktober 2023.
Koalisi yang belum menggerek tagline yakni PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Perindo dan Partai Hanura. Mereka telah bersepakat mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Pendaftaran dilakukan pada 19 Oktober 2023, sekaligus pada hari itu diedarkanlah visi, misi dan fondasi dari pasangan ini melalui satu link yang dapat diakses oleh siapa pun yang merasa perlu mengetahuinya.
Koalisi Indonesia Maju yang disebut-sebut sebagai koalisi gemuk, terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, dan Partai Garuda. Tiga partai terakhir ini belum sampai di Senayan, walau PBB pernah ada di sana, tetapi pada Pemilu 2019, tidak mencapai ambang batas untuk mengantar kader-kadernya duduk di Senayan.Â
Para pimpinan partai KIM yang sebelumnya bernama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), kini telah bulat tekadnya, mengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.Â
Bila secara mata awam melihat para partai yang tergabung dalam koalisi-koalisi untuk mengusung pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden, rasanya kader-kader terbaik partai justru berada di luar partai. Padahal, para Ketua Umum partai merupakan orang-orang terbaik di partainya, bahkan terbaik sebagai putera-putera bangsa sehingga dapat mengambil peran penting dalam pembangunan berkelanjutan demi cita-cita bangsa.
Partai-partai politik sebagai wadah pengkaderan pemimpin bangsa pada multi posisi dan jenjang. Mereka akan menggembleng para kader baik dengan pendidikan formal maupun non formal di dalam partai itu sendiri, atau pada lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh negara seperti Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), dan lain-lain institusi pengkaderan.Â
Partai yang mengedepankan ideologi dan kompetensi kader, tidak dengan mudah merekrut individu-individu agar menjadi kader. Mereka akan menyeleksi dengan melihat sepak terjang, kompetensi akademik yang dimilikinya, daya juang dan daya tahan, dan sebagainya. Semua itu diatur dalam mekanisme perekrutan anggota untuk kelak menjadi kader yang dapat diandalkan.
Kader-kader partai yang sudah dapat diandalkan selanjutnya ditawarkan kepada publik untuk menjadi pemimpin-pemimpin pada level daerah. Misalnya menjadi bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, dan gubernur/wakil gubernur.Â
Pada level nasional akan ditawarkan menjadi pimpinan pada badan/lembaga pemerintah pusat, pimpinan BUMN, Menteri, hingga presiden dan wakil presiden. Â Di samping itu, kader-kader lainnya akan ditawarkan kepada publik untuk menduduki posisi lembaga legislatif di jenjang Kota, Kabupaten, Provinsi hingga Pusat.Â
Kader-kader yang dapat diandalkan itu akan di-blow up secara terus-menerus oleh media massa. Mungkin juga oleh kader itu sendiri yang menggunakan aplikasi media sosial dengan ribuan hingga jutaan pengikutnya. Mereka menjadi makin terkenal sambil berbenah agar citra diri mengalami trend positif.Â
Kata, sikap, dan tindakan nyata yang terus diikuti melalui berbagai media pada zaman digitalisasi ini patut terus dijaga. Satu kekeliruan ucap diksi akan berpengaruh pada citra diri. Satu kesalahan sikap bahkan gimik dan gestur dibaca oleh para pakar semiotik, dibahas lalu mendapatkan ragam respon yang berdampak pula pada citra diri.Â
Demikian seterusnya dengan tindakan nyata yang bersentuhan langsung dengan masyarakat baik sebagai komunitas maupun di daerah yang dipimpinnya atau di dalam  institusi/lembaga/badan yang dipimpinnya.
Citra diri para kader yang ditebar pada berbagai media akan terus mendongkrak polularitas. Kualitas dan kompetensi diri yang terus diasah pun tak boleh konstan, justru mesti terus digerek.Â
Pada sisi yang demikian itu, kader-kader yang muncul dan dikenal luas oleh publik jumlahnya terbatas. Secara internal para partai akan membanggakan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.Â
Sementara para ketua, para wakil ketua, bendahara, wakil sekretaris jenderal, para wakil bendahara mungkin pula kurang populer di mata publik secara nasional. Kemunculan kader tertentu di mata publik melalui debat dan diskusi pada media televisi dan talk show kopi darat menaikkan kualitas kepoluleran seseorang kader.Â
Sementara itu mereka yang non partisan, tidak terdaftar pada partai tertentu tak kalah hebatnya di-blow up oleh media. Mereka yang berada di dunia profesi dengan bidang keahlian dan kepakaran naik dan mendapat atensi publik. Mereka pun mendapatkan point poisitif dari publik yang sekaligus dilirik oleh partai-partai.
Maka, tidaklah mengherankan bila pada posisi kementerian misalnya, dari masa ke masa selalu ada orang yang bukan anggota partai justru dipilih menjadi pembantu presiden.Â
Partai tidak dapat memaksakan kehendak kepada Presiden ketika ia menggunakan hak prerogatifnya dalam menentukan pembantu-pembantunya sebagai anggota kabinet. Sampai di sini, rasanya partai sedang minim kader. Padahal pengkaderan sudah dijalankan secara luar biasa di dalam partai.
Tengoklah dalam sejarah reformasi ini ketika pencarian untuk menjaring pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ingatlah ketika Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan K.H. Hasyim Muzadi. Bukankah K. H. Hasyim Muzadi bukan kader PDI Perjuangan? Oh, ya, demi menjaga persatuan dan kesatuan dan merangkul kaum dan puak, maka non kader partai pun dapat direkrut menjadi calon pemimpin bangsa.
Seterusnya, partai-partai terus bekerja dan memprakarsai berbagai proses kaderisasi agar jumlahnya terus bertambah. Perekrutan tiada berhenti. Partai terus menggerek kualitas, kompetensi dan kapabilitas diri kader-kadernya agar pada waktunya ketika ditawarkan ke hadapan publik, mereka dapat diterima untuk menempati posisi-posisi sebagaimana yang disediakan oleh negara melalui undang-undang.
Lihatlah kini, dalam rangka pemilihan umum serentak tahun 2024, para ketua umum partai melakukan apa yang disebut silaturahmi antarpartai. Mereka bersahabat, tiada berseteru. Bertemu sebagai kawan, lalu berbalik di luar ruang silaturahmi sebagai lawan.Â
Bersua dengan pantun-pantun persahabatan, di hadapan publik dengan satire bergaya menyerang dengan peluru kecemasan. Hal-hal demikian dilakukan pula secara berkemiripan oleh kader-kader. Maka, tiadalah mengherankan ketika publik ditanyai oleh para surveyor, kader-kader tertentu saja yang mendapat prosentase tinggi diterima publik, dan mereka yang non partisan pun diterima publik.Â
Antara kader partai dan yang non partisan/profesional yang sama-sama kuat diterima publik, akhirnya para ketua umum harus melakukan kalkulasi politik sedemikian rupa untuk menawarkan kader-kadernya ke hadapan publik. Penerimaan publik untuk selanjutnya bersedia memberikan hak suara pada kader menjadi perhitungan yang amat penting. Kader X dengan kualifikasi A sekali pun belum dapat menjamin mendongkrak dan meraup suara sebanyak-banyaknya.Â
Oleh karena itu, para ketua umum partai melakukan safari politik dengan pihak di luar kadernya sendiri, termasuk dengan mereka yang berada di dunia profesi.Â
Para pasangan calon yang kini mulai mengantri dan mendaftar di Komisi Pemilihan Umum sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden, ternyata ada di antaranya yang bukan kader partai. Sampai di titik ini kita bertanya, mungkinkah partai minim kader berkualifikasi A plus?
Anies Rasjid Baswedan, bukan kader partai mana pun. Mahfud MD, bukan kader partai PDI Perjuangan. Gibran Rakabuming Raka kader PDI Perjuangan, justru direkomendasikan oleh Partai Golkar, pemenang ketiga pemilihan umum 2019, dan Partai Gerindra yang menduduki posisi kedua pemenang pemilihan umum 2019, justru minim kader dengan kualifikasi A plus. Mereka yang berkompetisi yakni para partai yang mengusung paslon, justru minim kader.
Padahal, publik dapat saja melongok dengan mata terbelalak karena terheran-heran atas kaderisasi dan betapa kualifikasi para kader terutama para ketua umum dan sekretaris jenderal merupakan kader-kader terbaik. Mengapa tidak menetapkan salah satu di antara mereka? Tidak tanggung-tanggung pula para Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) pun punya kualifikasi teramat baik. Sebutlah Puan Maharani yang kini menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Kita sebutlah pula Bambang Susatyo Ketua Majelis Permusyawartan Rakyat, dan lain-lain tokoh partai dan tokoh nasional yang mumpuni.
Di atas segalanya analisis kampungan ini, kita ingat dunia pragmatisme dalam politik. Kader yang luar biasa sekali pun belum dapat dipastikan untuk mendongkrak dan meraup suara untuk kemenangan partai atau gabungan partai pengusung. Maka, menarik dan mengambil kader partai lain, atau tokoh yang diidolakan publik dari dunia profesional merupakan pendekatan dan pilihan terbaik para partai.
Mereka tidak kekurangan kader dengan kualifikasi A, tetapi mereka mengkalkulasi secara sosial-politik arah dan tren massa/publik agar dapat menjatuhkan "cinta" pada individu dan pasangan calon yang mereka tawarkan.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 23 Oktober 2023
NB: numpang ikut beropini dari  kacamata orang kampung  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H