Cahaya senja di kampung ini tak jauh beda dengan kampung sebelah. Jauh beda dengan kampung di pantai. Lebih jauh bedanya dengan mereka yang menyebut diri kaum perkotaan. Â Senja yang menyisakan kisah-kisah dari butiran remah kenangan. Kenangan pada fajar, siang berterik tanpa teriakan, atau berawan di tengah sapaan kawan dan lawan.
Cahaya senja di kampung ini bercerita tentang kaum kampung di utara pah meto', orang menyebut namanya Amfo'n Raya, di sana sungai  mengular,banjir meluap menggenangi kampung, menghanyutkan barang dan orang, sementara di balik sana kaum berdasi dan bersepatu kulit licin berkilau sedang insomnia.Â
Cahaya senja di kampung ini bercerita tentang kaum insomnia yang pamer kekayaan di antara kaum marginal. Mereka merindukan kepuasan lahir bathin baik di luar rumah hingga tiba di relung kekesalan hukum yang hanya dapat menegur tanpa memaksa mereka tiba di kerangkeng atau menjadikan mereka kaum hina terhormat.
Cahaya senja di kampung ini bercerita tentang kaum penata kata yang menebar cerita manis dari kota ke kota, mengajak parade dengan mensaweri kaum miskin. Sawernya bagai satu kemewahan pada busana yang kelihatan baru dari kain yang dijahit terburu-buru. Pada tiap tangan kanan memegang bendera kemegahan untuk dikibarkan sambil mengobarkan semangat yang berjejal pada ambisi. Pada tangan kiri memegang sebentuk kotak berisi sejumput makanan pengganjal membuncitnya lambung dan sejumlah usus yang mendesak kancing-kancing baju baru hendak lepas.
Cahaya senja di kampung ini bercerita tentang kaum saleh, berilmu agama tinggi menebar kabar sukacita sambil menginjeksikan dogma kebenaran dari ilmu yang didapatinya. Mereka tiada henti-hentinya menafsir dogma rasul dan nabi sambil melakukan adaptasi pada zaman digitalisasi ini untuk menemukan perbedaan agar menjatuhkan fatwa halal haram, doa dan dosa.Â
Cahaya senja di kampung ini menyisakan kenangan pada kaum tani ladang yang mulai memetik hasil. Mereka pulang di senja ini dengan senyum kelelahan sambil membawa pikulan di bahu. Anak-anak meneriaki para orang tua yang pulang dengan membawa bulir-bulir jagung yang akan disimpan di loteng sebagai persediaan, sambil mengejar beras untuk makan malam, dan menonton televisi di rumah tetangga mengikuti perkembangan harga bahan pangan yang naik di negara berpenduduk mayoritas dengan pencaharian bertani.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 13 Maret 2023
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H