Pengantar
Program nasional bidang pendidikan yakni Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak telah dimulai pada tahun 2020. Angkatan pertama, kedua, dan ketiga, disasarkan kapada 56 daerah masing-masing angkatan sebanyak 2.800 calon guru penggerak. Angkatan keempat, kelima dan keenam, disasarkan kepada 160, 166, 156 daerah, dengan masing-masing angkatan sebanyak 8.000. Angkatan ketujuh, kedelapan dan kesembilan, disasarkan kepada 446, 365, dan 304 daerah dengan masing-masing angkatan sebanyak 20.000 calon guru penggerak, dan angkatan kesepuluh disasarkan kepada 484 daerah sebanyak 55.000 calon guru penggerak (1).Â
Data di atas menunjukkan bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (KemendikbudRistek) sungguh-sungguh sedang dalam implementasi program yang menggerakkan guru (kepala sekolah, guru, siswa) dan sekolah untuk makin berdaya. Khusus pada angkatan 9 dan 10 yang sedang dalam proses pendaftaran, akan diseleksi seturut tahapannya dan baru akan diumumkan jadwal pendidikan pada mereka yang dinyatakan lulus.
Menggerakkan guru (termasuk Kepala Sekolah & Pengawas) dalam pengertian memberikan pada mereka "nama baptis" baru kira-kira hal itu tidak sama persis dengan apa yang pernah terjadi sebelumnya, pada masa Mendikbud Anies Baswedan. Pada masa itu ada program Guru Pembelajar. Suatu program dimana guru bukanlah sekadar memiliki ketrampilan dasar pedagogik lalu dengan "modal" itu membelajarkan siswa. Guru perlu untuk terus belajar meningkatkan kualitas dan kapabilitas diri. Begitulah kira-kira guru pembelajar.
Dalam masa kepemimpinan Nadiem Anwar Makarim, Guru Penggerak menjadi prioritas dengan Kurikulum Merdeka menjadi muatan di dalamnya. Makin banyak guru mendaftar menjadi guru penggerak, akan "menggerakkan" sekolah yang selama ini bagai sedang "tidak bergerak" alias diam, stagnan, stabil, tidak maju, tidak mundur. Maka, program ini dilangsungkan dengan ketesediaan anggaran "fantastis" untuk pembiayaan pada mereka yang berhasil diterima dan lulus dalam pendidikan Guru Penggerak.
Suatu perkembangan yang amat menjanjikan untuk perubahan pada dunia pendidikan dasar, menengah umum dan kejuruan di NKRI tercinta ini.
Â
Sekolah dalam Zaman Digitalisasi
Pada zaman digitalisasi ini, guru di sekolah-sekolah dituntut berada dalam arus itu. Guru tidak boleh gaptek berhubung dunia digital membutuhkan akselerasi, akurasi dan aktualisasi. Ini tidak mudah pada guru yang masih bergelut dengan ketrampilan tradisional yang manual.Â
Sekolah dalam zaman digitalisasi ini tentu sudah ada dalam kebijakan pemerintah pusat dan daerah (Kabupaten, kota, Provinsi) untuk membangun dan mengembangkannya. Oleh karena itu, guru yang berada di sekolah-sekolah yang demikian patut untuk mampu beradaptasi sesegera mungkin.Â
Guru yang dari aspek usia masih muda, tentulah mereka yang baru datang dari kampus, berada dalam generasi milenial yang peka dan segera dapat masuk ke dunia digital. Ketrampilan mereka dalam hal pemanfaatan produk teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tentulah tidak diragukan. Â Mereka tentulah telah memenuhi syarat kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Maka, tentu pada mereka akselerasi, akurasi dan aktulisasi tidak dapat ditawar lagi.
Mereka tentulah sudah layak dalam beberapa hal sederhana seperti ini.
- Menjadi model belajar Guru memiliki kemampuan terkait penggunaan media digital kepada siswa. Misalnya, guru dapat mentransfer pengetahuan teknologi dan mencontohkan penggunaan tools-tools digital untuk mendorong kreativitas siswa.
- Inovasi pembelajaran. Pada zaman digital ini guru dapat melakukan inovasi pembelajaran yang membangkitkan minat dan motivasi siswa dan menunjang pembelajaran. Contohnya, tampilan power point yang menarik.
- Skill / kompetensi penunjang. Kemampuan akademik sudah dimiliki guru, namun dibutuhkan ketrampilan lain seperti membuat video, editing, dan menulis,
- Terampil menggunakan internet dalam konteks Pendidikan. Media internet sudah bagai kebutuhan sampai dengan seperempat abad di abad ke XXI ini. (2)