Hujan semalaman tak memberi ruang gerak pada kaum penghuni pepohonan. Peluang amat pekat hingga tak dapat sekadar menggeleng, kecuali mendongak. Tidur. Tidur. Tidur lagi. Anak-anak manusia pun terus tidur, mendengkur dan mengigau dalam kecemasan. Mimpi indah hanyalah bunganya tidur hingga senyum dikemas kembang tanpa tanpa kesadaran. Mimpi buruk laksana hantu penggoda alam bawah sadar, ketika terjaga keringat pun menyembur sebesar biji jagung. Aliran darah hendak berhenti, tidak.Â
Burung-burung hantu bernyanyi riang. Rasanya ada sesuatu yang sedang tak beres di sekitar kampung bergaya kota ini. Ya, kampung bergaya kota ini lampu-lampu dinyalakan dengan memanfaatkan tenaga surya yang oleh para pemikirnya disebut solarcell. Perkembangan ilmu pengetahuan yang tak asing lagi. Maka, ketika burung-burung hantu bernyanyi menjadi penghias pekatnya malam, kaum dan puak genealogis yang tidurnya nyenyak terjaga.
Akh... sudah pukul empat pagi. Suara lain mulai terdengar. Deru mesin modern berderak dalam gerak berpindah dari garasi ke jalan utama. Panggilan tugas para pemegang kemudi bulat di jalanan mulai menghidupkan rasa. Ibu-ibu duduk di pinggir jalan membungkus raga dengan sehelai kain, menutup kepalanya dengan kain tenunan khas kampung. Sambil menunggu pikap mereka memeluk dada menghangatkan badan. Kaki gemetaran rada beku darahnya terus-menerus disirami rintik hujan yang mengumpul lalu menggenangi jalan.
Pukul empat pagi, suara burung sri gunting yang nyaring tak mau kalah memamerkan fibronansinya di panggung kaum bersayap malam. Sri gunting menyela hantu, lalu ibu-ibu yang menyebut diri mamalele makin gemetaran. Alam khayal memberi signal bahwa sri gunting itu merupakan jelmaan si kuntil'anak.Â
Panggung kidung pagi terasa sudah berlalu pada mereka yang berkarya pada malam hari. Mereka pun segera menuju liang persembunyian. Di sana ada yang menggantung diri dan ada yang duduk dalam kotak kenyamaman.Â
Pagi tiba memaksa kaum dan puak bergegas. Ya bergegas. Gas. Mesti dalam kecepatan yang baik agar tiba pada waktnya. Pukul lima sudah harus memulai tugas penting untuk masa depan. Tas berisi bekal ilmu pengetahuan feat pula dengan bekal pengisi kantong penegak tubuh pada pagi hari. Pembuangan ekskresi barulah boleh terjadi pada saat tugas dijalankan. Permisi. Permisi lalu keluarlah sejenis barang dalam tumpukan sampah terkumpul secara terhormat di suatu tempat tersendiri.
Panggung kidung pagi, bukan milik kaum penghuni pepohonan. Kaum dan puak dalam kampung bergaya kota ini justru lebih sibuk daripada mereka. Mata masih tak dapat dibuka. Kulit jaket tipis berumbai bulu-bulu halus penutup dua bola dua bola mata mulai membiasakan tegar di pagi antara pukul empat hingga lima.Â
Ibu-ibu mamalele sudah meleleh tiba di pasar tradisional dalam kampung kota ini. Sayur, sayur, sayur. Buah, buah, buah. Bumbu dapur, dan segala kebutuhan masyarakat dijejer menanti pembeli. Sementara di area pemukiman kaum ibu bergegas di dapur menyiapkan kepentingan anak dan suami, kepentingan diri sendiri pula. Andai dapat dilakukan dalam sekali waktu secara serentak, betapa bahagianya para perempuan yang berkarir di kampung kota ini.
Kidung pagi telah dimulai dengan kesibukan. Surya tersenyum. Rembulan menutup wajahnya hingga rona senyumnya tak terlihat lagi. Siapa pula yang rindu menengok pada surya yang tersenyum, sementara kesibukan sudah menanti di pagi buta.
Selamat berkarya dari sejak pagi buta. Mimpikan menjadi pemimpin. Jadikan ilusi menjadi imajinasi, biarkan imajinasi mewujud dalam inkarnasi.