Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Diary

Hari Berlalu Tinggallah Haru

24 Februari 2023   22:34 Diperbarui: 24 Februari 2023   22:44 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kupang.antaranews.com

Hari-hari dalam dua bulan pertama tahun dua ribu dua puluh tiga sudah dan sedang datang, dan akan berlalu. Kehidupan bagai tiada berhentinya sebagaimana waktu yang terus maju baik dalam kalkulasi lampau, kini, dan nanti.

 Rasanya ada kuasa yang mempercepat datang dan berlalunya waktu. Ya, terasa seperti amat cepat sehingga orang tertentu tersentak, lalu bergegas pada situasinya yang bagai darurat. Bergegas. Berkejaran dengan waktu, padahal waktu konstan, detik demi detik, jam hingga hari dan seturut kata manusia yang berakhlak dan berpengetahuan ini.

Hujan, hujan terus mengguyur. Sejak September di pulau Timor (pah Meto') hujan sudah berlangsung, disela panas terik yang mencemaskan dan menggemaskan kaum tani (ladang dan sawah) dan peternak. Hujan mengguyur bagai tak memberi ruang dan peluang pada pelangi untuk bercerita dan memamerkan keindahan dirinya. Bayu tak berdaya berhembus lebih kencang sebagaimana biasanya. 

Baca juga: Tau

Bumi tempat berpijak segala  makhluk resah tak kuasa mendesah, gelisah tak jua menuju belisah. Lalu, kali kering pun menampung dan mengalirkan air hingga memuntahkannya. Sungai melebarkan jalannya dengan menggerus tanah pinggiran hingga rontok jembatan berharga ratuan juta rupiah. Penduduk berlarian ketika muntahan sungai mengejar hingga menggenangi mereka. 

Bukit pun tak rela duduk di tempatnya. Ia bergeser dari duduknya hingga menahan laju gerak makhluk. Insan berkemampuan gerak, akhirnya menggeser diri untuk keselamatan. Mereka tiba dengan mengasumsi lokus sebagai telah aman sambil memeluk badan, berselimutkan kabut dan gelap yang dingin. Nyanyian serangga bersayap halus di telinga, bertengger, menyedot darah sembari menginjeksikan benih petaka. 

Murung wajah hingga air mata pun kering. Menadahkan tangan sudah biasa untuk menanti isian. Mereka mendapatkannya dari uluran tangan yang mengganjal sementara atas alasan kemanusiaan. Ketika berbalik manusia yang ditinggalkan kembali dalam keresahan tanpa recehan di tangan untuk sekadar menyambung kenyamanan sesaat.

Di balik sana, di dalam ruang-ruang dengan pendingin dan penyejuk ruangan, kursi empuk diduduki. Kursi dengan kaki beroda, sandaran elastis antara tegak dan telentang. Ketika ditegakkan sangarlah penguasa, ketika ditelentangkan, mata sayu hingga ditutup kehilangan emosi. 

Ketika roda diputar, ia pusing sebentar pada situasi, lalu berangkat mendekati dan menempatkan tangan di belakang bawah punggungnya. Bila berhasil diangkat, dominan menunjuk-nunjuk, mengepalkan tinju, tanpa upaya merangkul apalagi memeluk memberi kehangatan dan ketenangan.

Akh... penguasa, kau memberi arahan dengan rona dan gimik arogansi. Kau menyapa dalam panggilan sambil penggal minat dan niat secara pongah. Kehendakmu kaum bergerak lebih cepat daripada kijang, padahal kau kejang-kejangkan kakinya.

Kau memberi aba-aba maju lalu kau sendiri berdiri menata kata bermajas. Kau menata kata indah yang menyihir gendang telinga padahal kau sedang menabuh gendang yang nyaring bunyi akibat resonansi di ruang kosong. Penguasa, betapa citra diri telah mengalahkan kecemerlangan humanisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun