Hari ini, ketika kami menyaksikan mentari bersinar, bias cahayanya menyentuh permukaan mayapada. Sesaat sebelum merasakan sejuknya udara pagi di lereng bukit pemukiman penduduk desa ini, kami mengecup kening ibu, mamanda.Â
Lalu, ketika sudah berada di halaman rumah, terlihat bagai lengang, padahal kaum peladang bergegas pergi ke ladang hendak melihat tumbuhnya tanaman jagung dan berjenis kacangan. Dari ladang, peladang tidak langsung pulang ke rumah. Ternak menunggu di kandang walau tidak lebih dari 2 sampai 5 ekor. Mereka akan mengurus semuanya sesegera mungkin untuk segera kembali. Mengapa bergegas?
"Hari ini, hari ibu! Ibu-ibu di jemaat lokal akan merayakan Natal. Natal yang mengingatkan tentang kelahiran setiap orang. Natal yang diistimewakan pada Orang Istimewa yang menjadi Junjungan Agung, Yesus."
"Akh...!"
Ibu-ibu memilih hari ini untuk perayaan Natal, Natalnya Yesus. Rasanya mereka seperti ibu untuk Yesus. Mereka akan bernyanyi sambil menimang Bayi Istimewa itu. Berbicara dengan-Nya sambil menepuk atau mencubit pipi-Nya dengan kegemasan.
Bapak-bapak duduk di sana, di perapian sesudah kembali dari ladang dan kandang ternak. Basah. Dingin dan keram badan. Baiklah mendapatkan kehangatan dari tungku perapian, sambil menyeruput seduhan kopi hangat. Bapak memandang ibu sambil tersenyum. Ia ingat, hari ibu.Â
"Akh...!"
Aku duduk di sini tanpa ide, biarlah goresan ini bagai garis hias teramat maya pada bentang cakrawala yang maha luas.Â
Aku kirimkan pada ibunda nun di sana, di tempat dimana kelak aku pun akan berada. Nirwana, Swargaloka Keabadian dan Kebahagiaan.