Natal (kebaktian atau misa) selalu ada ornamen penyerta yang menjadi penanda bahwa kaum pengikut Kristus sedang merayakan hari kelahiran Sang Junjungan Agung. Ornamen seperti tulisan mery christmas, tokoh sinterklas dengan busana khas, bingkisan dan kapas yang diserak penanda salju dan lain-lain. Semuanya itu hendak bercerita tentang Natal. Benar dan tepatkah itu?
IbadahGereja lokal (sinode lokal) dengan nama khas seperti Gereja Masehi Injili di Timor, jelas ada nama khasnya Timor. Artinya ada orang yang menjadi pengikut Kristus lahir dan dibesarkan dalam budaya orang Timor. Budaya mereka menurut saya disebut budaya Meto' karena mereka berbahasa Meto' tinggal di daerah/pulau yang selalu merindukan adanya air oleh karena iklimnya yang meto', makanannya selalu bernuansa meto' dan rona orangnya nyaris meto'-meto'. Bermasyarakat dan kegiatan ekonomi sesuai kondisi daerah di mana tumbuh jemaat-jemaat lokal sebagai anggota GMIT, maka tentulah hal-hal yang disebutkan ini menjadi rujukannya. Lalu, di dalam GMIT bulan Mei ditetapkan sebagai bulan budaya. Pada waktu yang seperti itu refleksi dan pemanfaatan ragam produk tradisional maupun kontemporer yang ditampilkan. Sesudahnya, sirna?
Mari bertanya, mengapa pada saat merayakan Natal nuansa budaya budaya asing yang terlihat dan dilibatkan? Bukankah ornamen (pernak-pernik) lokal yang khas memberi nuansa yang lebih tepat sesuai konteksnya?
Akh... catatan ini ringan saja. hehe...
Kepada kaum Kristen dan Katolik mari bersama ke "Betlehem"
Umi Nii Baki-Koro'oto, 14 Desember 2024
Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H