Saya gugling untuk mengetahui apa yang terjadi bila pemilihan kepala daerah dengan hanya ada pasangan calon tunggal. Lawannya dipastikan kotak kosong.Â
Nyaris saja kota Jakarta (DKJ) mengalami pemilihan kepala daerah, gubernur wakil gubernur dengan melawan kotak kosong. Sontak ada calon independen dengan sedikit klaim individu tertentu yang menyebut bahwa mereka merasa tidak pernah menyerahkan fotokopian KTP.Â
Tetiba, PDI Perjuangan mendapatkan peluang mengusung sendiri pasangan calon setelah adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi. Jadilah demikian dan semua sudah mengetahui perkembangan selanjutnya hingga hari pencoblosan dan pengumuman hasil hitung cepat (quick count).Â
Nah, bagaimana dengan daerah lain yang benar-benar adanya hanya satu paslon?Â
Faktanya, Kabupaten Bangka Belitung dan Kota Pangkalpinang telah terjadi kotak kosong versus pasangan calon bupati wakil bupati dan walikota wakil walikota.
Menariknya, justru kotak kosong pemenangnya. Bagaimana mungkin? Kira-kira begitulah kaum awam praktik politik bertanya. Jawabannya, sangat mungkin.Â
Kita tidak boleh menafikan bahwa kotak kosong pun dapat membuat pasangan calon balik badan yang sekaligus membuat gerah partai politik. Fenomena ini mendapat perhatian anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kotak kosong memenangkan pilkada tentu sekaligus merugikan negara dari aspek pembiayaan, tetapi hal itu sudah fakta. Masyarakat, partai politik, lembaga legislatif, dan eksekutif tak dapat menutup mata terhadap hal ini.
Seperti yang sudah ramai diberitakan bahwa Kabupaten Bangka dan Kota Pangkal Pinang masing-masing diikuti oleh satu pasangan calon. Maka, selanjutnya sesuai regulasi yang ada, masyarakat mendapat pilihan kedua yakni kotak kosong. Hasilnya, versi hitung cepat, kedua daerah ini pasangan calon yang sesungguhnya diusung dan didukung partai-partai politik justru tidak mencapai target untuk meraih kemenangan.
Jadi, suatu fenomena baru yang tentu bukan baru sekali, tetapi patut untuk menjadi bahan refleksi dan evaluasi partai-partai politik ketika akan berkontestasi dalam pilkada.Â
Walau sudah faktanya demikian, aturan telah dibuat untuk mengantisipasi kevakuman kepemimpinan di daerah (provinsi, kabupaten dan kota).