Media sosial telah menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan insan yang sudah melek teknologi informasi dan produk alat komunikasi. Mungkin sudah ada yang amat mahir secara pengetahuan dan praktik. Ada yang baru trampil dan ada pula yang baru coba-coba, tetapi semuanya sedang menggunakan media sosial secara masif selama ada cuan di dalam dompet.
Media sosial menjadikan setiap orang mempunyai kanal yang dapat dikunjungi dan saling berrkunjung. Tidak ada batas umur ketika berada di ranah media sosial. Tidak ada rasa sungkan, segan apalagi hendak mengangkat topi dan memberi hormat oleh karena ada yang lebih tua, berpangkat dan berjabatan. Media sosial tidak mengenal karakter penggunanya. Pemilik kanal dapat berkenalan dengan siapa pun bahkan tanpa sekat dan batas geografis.
Nah, bagaimana bila media sosial berada di tangan guru dan murid di sekolah?
Menurut Prof. Rahmach Ida M. Comms, Ph.D, media sosial memiliki signifikansi dalam pembentukan identitas anak-anak, mengalahkan teori Sigmund Freud yang menyebutkan bahwa pembentukan karakter dan identitas anak berawal dari dalam rumah di mana ada orang tua. (Sumber)
Dalam satu unggahan di https://smpit-harapanbunda.sch.id/ dijelaskan bahwa ada pengaruh positif di satu sisi, dan sisi sebaliknya ada negatifnya ketika media sosial dimanfaatkan oleh murid. Â Dalam dunia pendidikan media sosial memberi pengaruh yang cukup besar terhadap proses belajar. Media sosial bisa memberikan pengaruh positif terdapat dunia pendidikan. Sebab akan memudahkan para siswa untuk mengumpulkan informasi, menambah pengetahuan dan membuka wawasan agar bisa berinteraksi dengan orang lain, membantu para siswa untuk melek terhadap perkembangan teknologi, membuat para siswa untuk kreatif dan terampil dengan melihat video-video yang ada di medsos dan sebagianya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial juga dapat memberikan dampak negatif terhadap dunia pendidikan, yakni akan mengurangi semangat para siswa untuk membaca buku pelajaran atau mencari sumber-sumber yang ada di perpustakan karena menurut mereka, hal tersebut terlalu ribet, siswa akan menjadi malas belajar dan lebih sibuk dengan media social atau media online saja, siswa akan kurang berinteraksi dengan orang yang ada di dekatnya sehingga menimbulkan kesulitan untuk berkomunikasi ketika tata muka, para siswa akan mencari cara mudah untuk mendapatkan sesuatu secara instan dan yang paling parah akan membuat para siswa menjadi orang yang kecanduan untuk menggunakan media sosial maupun media online lainnya.
Data di atas hendak menunjukkan kepada kita bahwa media sosial dapat menjadi predator di dalam dunia pendidikan, khususnya pembelajaran. Guru yang malas belajar untuk berkreasi, akan dengan mudah mengambil (mengunduh) materi yang sudah disiapkan. Hal ini terlihat dari banyaknya konten praktik baik yang ditempatkan di berbagai kanal YouTube termasuk di Platform Merdeka Mengajar. Guru cukup mengambil (mengunduh) dari sana, sering tanpa proses sunting, langsung memberikannya kepada murid di dalam kelas.
 Begitu pula dengan para murid; bila murid telah mampu berselancar dan berenang di dalam media sosial secara kontinyu, dan mengetahui bahwa di dalam Platform Merdeka Mengajar ada kanal YouTube yang dapat diakses. Tidakkah hal itu akan menjadi bumerang pada guru? Murid mengetahui isi pembelajaran, dan gurunya belum mengetahuinya. Bila diskusi di dalam kelas dengan pendekatan berkarakter saling berbagi oleh karena tiap orang boleh menjadi sumber belajar, bukankah hal itu akan membanggakan? Bagaimana bila sebaliknya?
Media sosial dapat menjadi "ancaman" pada beberapa sisi kegiatan pembelajaran di sekolah; antara lain:
- Gangguan Fokus dan Produktivitas: Berragam platform media sosial telah dan akan terus menawarkan berbagai distraksi yang dapat saja mengalihkan perhatian murid dari tugas utamanya, belajar. Mari membayangkan bagaimana mungkin murid yang aktif di media sosial tak akan mengecek notifikasi yang diterimanya?Â
- Akurasi Informasi: Mungkinkah platform media sosial menyebarkan informasi dengan akurasi yang dapat diandalkan? Belum dapat dipastikan. Informasi yang disebarkan sering tanpa verifikasi dan validasi yang berdampak pada kabar buruk, hoaks  yang oleh karenya dapat membentuk pemahaman yang keliru terhadap berbagai topik, termasuk dalam konteks pembelajaran.
- Perundungan (bullying) dan Tekanan Sosial: Platform tertentu dalam media sosial dapat menjadi platform bagi perundungan atau bullying, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional siswa. Hal ini akan menimbulkan tekanan sosial untuk tampil sempurna atau memenuhi ekspektasi orang lain juga bisa mengganggu kesehatan mental siswa, yang berdampak negatif pada konsentrasi dan kinerja belajar mereka.
- Ketergantungan pada Teknologi: Bila murid dan siapa pun bergantung secara berlebihan pada media sosial dapat saja mengurangi kemampuannya untuk berinteraksi secara langsung, maupun dalam mengembangkan keterampilan sosial mereka.Â
- Paparan Konten Negatif: Platform media sosial sangat sering mengandung konten yang tidak sesuai dengan usia atau nilai yang diajarkan di sekolah, seperti kekerasan, pornografi, atau konten yang menurunkan moral. Para pengguna termasuk murid/siswa yang terpapar oleh konten semacam ini dapat terganggu secara psikologis dan terpengaruh oleh perilaku negatif yang dapat merusak perkembangan mereka.
- Penyalahgunaan Waktu: Penggunaan media sosial yang berlebihan di luar jam sekolah dapat mengurangi waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar, beristirahat, atau berinteraksi dengan teman secara langsung. Hal ini bisa menyebabkan gangguan pada ritme belajar siswa, dan akhirnya menurunkan hasil akademik mereka.
Secara keseluruhan, meskipun media sosial memiliki potensi untuk mendukung pembelajaran dengan memberikan akses ke informasi dan komunikasi, jika tidak digunakan dengan bijak, ia bisa menjadi "predator" yang merusak keseimbangan antara belajar, sosial, dan perkembangan pribadi siswa.
Mari kita cermati, apakah 6 point di atas tidak ada ruang positifnya?