Jalan Pedang Korpala
Lebih seratus orang sedang bersiap di Lembanna, menatap puncak Bawakaraeng yang sebentar lagi menjadi tujuan mereka. Beberapa jam lagi, rangkaian puncak kegiatan pendidikan dasar akan segera mereka rampungkan. Di tempat yang lainnya, beberapa kelompok yang mengarahkan beberapa puluh anggota lainnya, sementara bergelut menuntaskan serangkaian prosesi untuk menyelesaikan pendidikan khususnya.
Pendidikan khusus yang akan menjadi bekal, untuk persiapan rencana ekspedisi mereka, menyusul kakak-kakak lainnya yang sementara mengayunkan langkah menuju summit-summit tertinggi di dunia. Beberapa kakak lainnya, sementara membentangkan layar di atas perahu untuk merapat ke pantai-pantai yang jauh di belahan bumi yang lain. Lainnya lagi sementara merambah lorong-lorong gelap menyusuri perut bumi yang mungkin belum sempat terjamah oleh penelusur lainnya.
Mendampingi setiap tahapan pendidikan itu, instruktur-instruktur handal yang telah menuntaskan seluruh rangkaian pendidikannya, yang tentu saja adalah para veteran ekspedisi. Seluruh rangkaian pendidikan dilakukan dengan teliti, bersungguh-sungguh, disiplin tinggi yang tentu saja dengan eror tolerance yang mendekati nol. Bukan apa-apa, kualitas alumni dari setiap jenjang pendidikan, haruslah kualitas premium. Dan itu hanya bisa didapatkan salah satunya dengan arahan para instruktur yang juga berkualitas premium.
Suatu siklus regenerasi yang begitu intens, mapan dan juga begitu terarah. Meminjam istilah mereka yang hendak mengabdikan diri menjadi seorang samurai, maka yang bersangkutan harus melakoni tata hidup dalam suatu istilah ‘jalan pedang’. Tata hidup yang penuh disiplin, berlatih dengan tekun menerapkan metode yang rumit, sulit dan penuh tantangan. Semuanya adalah untuk mencapai kualitas diri yang mumpuni secara teknis, mapan secara mental dengan kualitas karakter yang terpilih. Dan tentu saja pada puncaknya, untuk memahami dan menerapkan filosofi yang melandasi setiap gerak laku hidupnya.
Itulah u-ka-em bernama Korpala Unhas. Di saat setiap lembaga kemahasiswaan maupun wadah-wadah ekstra kurikuler lainnya sedang lesu darah, di Korpala justru sebaliknya. Orang berduyun-duyun bersaing mendapatkan kesempatan menempa diri di sana. Jumlah anggota yang begitu melimpah, memungkinkannya melakukan serangkaian kegiatan yang melibatkan kuantitas anggota yang berkualitas, di waktu yang hampir bersamaan. Konsekwensinya, penyaringan untuk menjadi anggota berlangsung ketat. Bahkan beberapa orang tua mahasiswa sampai perlu membantu merengek untuk anaknya, menghubungi si anu dan si anu demi mendapatkan kesempatan sekali seumur hidup itu.
Beberapa dari mereka pasti dengan sukarela mau melakukan suap demi anaknya diterima di Korpala. Namun mereka pasti gentar dan berpikir beribu kali, karena mereka tahu, itu bukan idealisme yang dianut oleh para pencinta alam itu. Terlalu naif dan tentunya sangat hina, yang bisa saja menutup selamanya kesempatan bergabung di Korpala. Bila ada akreditasi mengenai u-ka-em, maka pastilah Korpala meraih akreditasi A yang masih ditambah acungan jempol, plus dan plus.
Keberhasilan organisasi ini mengembangkan, menerapkan dan menjaga filosofi yang kuat untuk setiap anggotanya, telah begitu memikat para pencinta alam di manapun berada. Serangkaian jenjang pendidikan dan kegiatannya, telah membentuk suatu standar keterampilan yang begitu rapi dan handal. Biasnya adalah, kualitas karakter yang dilandasi kualitas mental yang tepercaya, menjadi trade mark yang mapan yang melekat di dalam diri setiap anggota.
Bila pada umumnya pencinta alam selalu gamang, ragu tentang apa itu definisi, apa penjabaran yang tepat untuk sebutan pencinta alam, maka di sini semuanya sudah begitu jelas. Serangkaian siklus yang dilakoni dengan penuh disiplin, menghasilkan pribadi yang beretika sesuai kode etiknya. Baris-baris kode etik bukan hanya sebagai penghias bibir di setiap upacara atau seremoni, tetapi menjadi laku keseharian yang akrab dan tidak sakral. Ketahanan mentalnya juga luar biasa, bahkan mampu beradaptasi di dalam evolusi hingga ribuan tahun. Trend setternya adalah idealisme, bukan pragmatisme yang oportunis.
Logika yang dikembangkan adalah logika tentang kesadaran. Membaca setiap ayat Tuhan dalam keping pahatan-pahatan terkecil hingga terbesar, membantu memahami tentang kompleksitas semesta. Kompleksitas yang terangkum di dalam satu miniatur yang namanya manusia. Kesadaran tentang manusia sebagai metafora alam dalam bentuk kecil, juga kesadaran tentang semesta sebaagi metafora manusia dalam bentuk super. Cosmos conciousness – kesadaran sejagad bukan hanya menjadi wacana untuk ruang-ruang seminar yang tidak jelas ke mana mengaplikasikannya. Di korpala, sekali lagi semua itu menjadi hal yang lumrah di dalam kehidupan keseharian.
Begitulah, bila di hari ini di usia yang menginjak 28 tahun, Korpala sarat kegiatan yang mehadirkannya di setiap summit di berbagai belahan dunia dengan jumlah anggota yang melimpah, semuanya bukan karena individu-individu yang menonjol atau hebat di suatu rentang waktu tertentu. Seperti yang biasa didengungkan para awam, bahwa di setiap masa punya aktornya sendiri, maka di Korpala sebenarnya hanya konsisten menerapkan –istilah pinjaman- jalan pedangnya sendiri. Hal itu juga mengacu sebenarnya pada pemahaman yang awam yang mengakui dengan sedikit getir tentang pentingnya proses dibanding hasil. Nah, proses yang bagus dan matang, tidak lain akan menelurkan hasil yang baik.