Penafsiran-penafsiran liar yang menjadi definisi anutan setiap pencinta alam kemudian menjadi suatu keabsahan belaka. Menjadi permakluman yang lumrah bila setiap orang mempunyai definisinya sendiri. Bila sudah seperti itu, maka menarik suatu kesimpulan universal, menjadi sesuatu yang mustahil. Bila kesimpulan umum menjadi mustahil, maka mustahil pulalah untuk mendefinisikan apakah pencinta alam itu. Tanpa definisi yang jelas, maka sangat lumrah bagi kita untuk gagal atau keliru di dalam identifikasi.
Kita kemudian akan terjerumus ke siklus telur-ayam. Pertanyaan joke sepele yang sering hadir di warung kopi ujung kampung sana, menyertai mentari yang merangkak meninggi. Namun seorang temanku selalu konsisten untuk menjawab ‘telur’. Seperti konsistennya ia selalu menjawab, bahwa contoh ideal pencinta alam itu adalah para ‘nabi’. ‘Semua nabi itu adalah pencinta alam’, begitu yang selalu dikatakannya bila diskusi sudah semakin mendalam tentang apa dan bagaimana semestinya pencinta alam itu.
Nabi-nabi sepertinya bisa bahkan sangat layak untuk menjadi model yang disebut sebagai Pencina Alam. Mereka selain menjadi penyampai 'kata-kata' Tuhan dalam bentuk kitab-kitab suci, juga membantu manusia di dalam membaca dan menerjemahkan kreasi Tuhan yang terpahat sebagai bentuk alam semesta ini. Metafora, perumpamaan dan fenomena-fenomena alam menjadi bahan halus, untuk diramu menjadi bahan pendidikan untuk manusia.
Untuk itulah mereka melakukan perjalanan, penjelajahan, migrasi, dengan semua duka dan sukanya. Bahkan nyawa akan menjadi taruhannya, bukan hanya oleh ancaman binatang buas, oleh sulitnya medan yang harus diatasi, namun juga oleh variasi kelicikan manusia yang sebenarnya jauh lebih berbahaya dari semua itu. Tujuannya jelas, sederhana meskipun sama sekali tidak bisa dikatakan sepele. Pembelajaran, penerjemahan, perenungan akan interaksi manusia dengan semesta, akan membentuk manusia menjadi manusia yang baik. Manusia dengan wawasan yang holistik, berkesadaran semesta. Lalu manusia yang baik itu selanjutnya mampu untuk menyadari Dia sang Maha yang telah menciptakan segalanya.
Para pencinta alam yang berkegiatan di alam bebas mestinya juga seperti itu. Apapun yang dilakukan semuanya sebagai sarana berlatih, belajar, membaca dan menerjemahkan kebaikan yang mendukung proses penempaan diri untuk menjadi ‘manusia baik’. Manusia baik yang ‘kebaikannya’ bisa ditakar secara universal, bukan sekadar baik oleh golongan kecilnya, apalagi hanya baik menurut dirinya sendiri. Kebaikan yang mampu untuk lulus uji sebagai suatu kebaikan oleh berbagai parameter, baik yang religius, yang akademis, yang filosofis dan lain-lainnya.
Manusia baik yang kebaikannya akan segera luntur bila sedikit saja menerapkan keburukan kepada semesta dan tentu saja kepada manusia lainnya.
also posted on my blog
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H