Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Setiap Orang Adalah Aktor Utama untuk Sinetron Kehidupannya

19 Oktober 2014   22:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:27 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dunia ini, panggung sandiwara. Ceritanya mudah berubah. Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani. Setiap kita dapat satu peranan... yang harus kita mainkan.

Begitulah hidup merupakan panggung sandiwara. Saya membayangkan, setiap orang ketika nonton sinetron atau film, masing-masing orang membayangkan bahwa dirinya adalah pelakon utama dalam apa yang dilihatnya. Maka, kalau mau dilihat secara positif akhirnya drama-drama semacam itu menjadi semacam pembelajaran untuk hidup. Hampir tidak ada yang membayangkan dirinya untuk menjadi jahat.

Konsep semacam inilah yang kemudian membentuk citra diri (self image) seseorang. Membangun sebuah cita-cita dan harapan akan menjadi apa dia ke depannya. Maka wajar kalau anak-anak kecil sering mencita-citakan menjadi seorang jagoan super hero. Seorang remaja menggambarkan dirinya sebagai superstar yang terkenal. Seorang wanita membayangkan dirinya menjadi puteri cantik yang dipinang oleh seorang pangeran tampan. Atau ketika tua, seseorang lalu membandingkan kisah hidupnya dengan kisah sinetron yang dilihatnya.

Ketika apa yang menjadi tontonan ternyata tidak sejalan dengan pola pikir dan logika yang ada, mereka akan mengritik keras, kecewa, dll. Tapi mengapa kisah semacam jagoan-jagoan khayal a la Superman bisa sedemikian diterima lebih dari sekedar hiburan? paling tidak dalam refleksi saya, itu karena setiap orang merasa terwakili keinginannya untuk menjadi tokoh yang dipuja, dikagumi, baik, dan mampu mengalahkan setiap permasalahan hidupnya.

Tapi Kita bukanlah Wayang

Kalau ada yang mengatakan bahwa kita sedang menjalani takdir kita, dalam arti tertentu ada benarnya. Tapi tidak semestinya orang pasrah pada takdirnya. Manusia bukanlah sekedar wayang yang menjalani perannya sebagaimana dilakonkan oleh sang dalang kehidupan. Konsep semacam ini akan meletakkan aktor utama kehidupan kita pada Allah yang transenden. Apalagi kalau sedang dilanda semacam kemalangan, orang yang semacam ini akan mencari kambing hitam, Tuhan. Bahkan, untuk sesuatu yang jelas-jelas diperbuatnya orang masih bisa mengatakan bahwa ini kehendak Tuhan.

pernah mendengar orang yang tertangkap KPK dan bilang ini cobaan dari yang di atas? orang tertangkap pakai narkoba lalu bilang ini musibah? pasangan yang bercerai masih bisa mencari penyebab utamanya adalah kehendak Allah?

Ya... dalam arti ini, Tuhan hanya dijadikan kambing hitam atas kemalangannya. Tapi kalau lagi dapat keberuntungan dia bilang ini hoky. hehehee

Kebebasan dan kesadaran manusia adalah kuncinya bahwa dia bukanlah wayang yang dilakonkan begitu saja. kebebasan dan kesadaran manusia adalah tanda bahwa dia terlibat dalam menentukan takdirnya. Manusia bisa memilih, meskipun pilihannya seakan terbatas. Tapi, keterbatasan itu biasanya terjadi karena batas-batas pengetahuannya. Semakin sempit pengetahuannya, semakin sempit juga pilihannya. Alias semakin sedikit apa yang bisa dia pilih. Saya meminjam ini dari sebuah ungkapan bahwa bahasa merupakan batas pengetahuan manusia. Ketika belum ada hand phone orang tidak mengenal apa arti kata hand phone. Begitu pengetahuan akan hand phone ada karena keberadaannya, dia tahu apakah itu hand phone. Bahasa adalah batas pengetahuan manusia. Pengetahuan berkembang, bahasa berkembang, pilihan hidup juga berubah.

Oleh karena itu, jangan menyesali sedikitnya pilihan hidup! tapi semoga itu menjadi pemicu untuk memperluas cakrawala pemikiran kita (world view) akan kehidupan ini. Di sinilah kemudian kita menjadi aktor utama yang sungguh-sungguh memegang kendali atas kehidupan ini. Sebagai aktor utama, jangan mau dikendalikan oleh sesuatu yang ada di luar diri kita, seperti keadaan, orang lain, nasib, takdir, dll. Kitalah yang harus bisa mengendalikan mereka dan dengan demikian jangan tunduk, pasrah, dan menyerah. Kalau dulu kita biasa mendengar pungguk merindu bulan sebagai sebentuk kemustahilan. Sekarang, bahkan Hawking saja yang cacat semacam itu bisa untuk sampai ke bulan. Kalau mau.

Memang, akhirnya tidak harus menjadi orang yang besar dulu untuk menjadi aktor utama kehidupan. Tapi, segala sesuatu yang besar dimulai atau terbentuk dari sesuatu yang kecil. Ibarat sebuah bangunan yang terdiri dari keping-keping batu bata, butiran-butiran semen, cat, kayu, dll demikianlah dengan kebesaran seseorang. Ia besar tidak langsung besar. Ia selalu memulainya bahkan menjalankannya dengan pilihan-pilihan kecil. Seorang presiden sekalipun, sesungguhnya dalam kesehariannya dan dalam kediriannya memutuskan sesuatu yang kecil-kecil. Bangun pagi, pakai baju, diskusi, tanda tangan, dll. Semua orang bisa melakukannya. Kebesaran itu ada berkat kepercayaan dan pengakuan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun