Keputusan MK rupanya belum final. Bagi kubu Prabowo (&Hatta?), langkah hukum lain masih akan terus ditempuh. Menurut Eggy Sudjana, yang diungkapkan sesaat sesudah putusan hakim MK, keputusan para hakim ini adalah keputusan yang dzalim terhadap kubu mereka. Pernyataan itu, sebenarnya sebuah pernyataan yang berbasis pada keyakinan moral bahwa diri mereka benar, atau sebenarnya ada motif lain, seperti motif ekonomi misalnya?
Jadi dengan berbicara begitu, seolah masih ada celah untuk 'mbujuki' Prabowo bahwa masih ada celah hukum yang lain. Dengan demikian, mereka masih bisa mengawalnya secara hukum. Yang penting adalah beayanya. Kalau memang mereka pendukung Prabowo dalam arti sebenarnya, apakah dukungan mereka itu gratis?
Mengapa bisa begitu? Sejak awal sebenarnya Profesor Mahfud MD sudah menyadari dan memperkirakan bahwa gugatan ke MK akan sia-sia. Meskipun alasan kemundurannya adalah karena pertimbangan etika. Sebagai mantan hakim ketua MK, tak selayaknya beliau berperkara. Saya kira ini alasan baik dan cukup diplomatis. Masa mau mengatakan bahwa "toh akan kalah!" bisa meruntuhkan moral atau mental para pendukungnya. Meskipun kemudian, efeknya secara internal beliau dicap sebagai 'penyusup' di pihak Prabowo.
Bahkan, saksi ahli yang kemudian meminta supaya para hakim MK membatalkan putusan KPU seperti terjadi di Thailand, Prof. Yusril pun, dalam pengakuannya mengatakan bahwa sebenarnya beliau sudah menduga keputusan MK akan begitu. Menurut beliau, semestinya hakim MK tak sekedar jadi kalkulator. Nah, dengan permintaan yang sebegitu keras itu, ternyata berbeda dengan keyakinannya bahwa akan kalah. Mungkin berbeda ya, tuntutan profesi dengan kajian akademisnya. Tuntutan profesi mengharuskannya dia membela Prabowo. Dan dengan begitu dia mendapatkan imbalan. Tapi kajian akademisnya, sebagai seorang ilmuwan sebenarnya berkata lain. Ya sudah, tinggalkan dulu profesi akademisnya, demi membela klien.
”Sudah saatnya MK melangkah ke arah substansial. Khususnya, seperti yang dilakukan MK Thailand. Apakah pemilu itu konstitusional apa bukan. Apakah pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sudah terjadi,” ujar Yusril dalam persidangan MK.
Yang kemudian diungkapkan hasil analisa akademisnya.
Para pengamat TVONE pun yang sebelumnya berapi-api menunjukkan keyakinannya bahwa gugatan Prabowo Hatta akan dikabulkan, kemudian mengatakan sebenarnya sudah menduga bahwa hakim akan memutuskan sebaliknya. Salah satu alasannya adalah dengan melihat gesture para hakim, yang seperti 'menyepelekan' saksi-saksi dari kubu Prabowo Hatta. Ada yang ditegur agar datanya jelas, ada yang ditegur agar diajari bikin laporan, ada yang ditegur seperti ramalan cuaca, dan yang kelihatan sekali dilecehkan adalah Novela. Meskipun tampaknya tegas dan berapi api, kelihatan sekali hakim ketua Hamdan Zulva sudah menganggap 'negatif' apa yang disampaikan Novela. Tampak bahwa saksi ini tidak kooperatif. Dengan jawaban tidak tahu dan tidak mau menjawab pertanyaan. Nah, kalau dengan melihat gesture para hakim saja sudah kelihatan mereka akan menolak, lalu kenapa Siti Zuhro, Yasraf, Efendi Gazhali tampak begitu menggebu-gebu menyampaikan keyakinannya?
Adakah motif 'imbalan' di baliknya? Saya kira TV ONE tidak gratis menghadirkan mereka.
Meskipun kemudian diakui, bahwa keputusan hakim MK telah final dan mengikat, namun bagi Tantowi dan kawan-kawan, keputusan itu belum merupakan cerminan kebenaran dan keadilan, sebagaimana disampaikan dalam konferensi pers menanggapi keputusan MK. Jelas ini usaha untuk menutupi 'kemaluan' yang dia terima karena selama ini dengan begitu mengebu bahwa MK pasti berpihak pada mereka. Dalam hal inipun, kok saya menduga bahwa dukungan ke pihak Prabowo Hatta, tidaklah gratis alias cuma-cuma. Maih ada jalur hukum yang akan ditempuh. Baik secara hukum maupun secara politis. Secara hukum, akan dibawa ke PTUN dan ke MA. Sementara secara politis mungkin yang dimaksud adalah upaya pembentukan pansus Pilpres.
Lagi-lagi, menurut Mahfud MD, upaya itu sebenarnya sia-sia. Tidak akan mempengaruhi hasil pilpres. Tapi, bagi advokat lain, putusan PTUN kalau bisa mendelegitimasi pencalonan Jokowi yang waktu itu masih menjabat gurbernur Jakarta, jelas akan berpengaruh pada legalitas pilpres 2014. Bagi pak Mahfud, kalaupun kemudian mau mempermasalahkan MK, yang bisa dipermasalahkan adalah hakim MKnya dan institusinya. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat, seperti kasusnya pak Akil. Meskipun kemudian Akil diketahui bersalah, putusannya ke MK dulu tidak bisa dianulir.
Refly Harun sebagai pakar HTN, menilai Prabowo Subianto-Hatta Rajasa hanya akan menghabiskan tenaga dan waktu jika terus menggugat hasil pemilu presiden 2014. Kengototan Prabowo Hatta hanya akan menguntungkan segelintir advokat. Menurutnya, biaya pengacara bisa mencapai miliaran rupiah. Prabowo, kata Refly, bakal mengalami kerugian finansial. "Akan lebih banyak kerugian ketimbang keuntungan," kata Refly.