[caption caption="gambar dari http://www.vemale.com/"][/caption]
Adilkah bila lelaki bebas bertelanjang dada di depan umum dan wanita tidak? Bagi sebagian besar wanita mungkin akan mengatakan ya memang seharusnya demikian. Tapi tidak demikian di dalam konsep post emansipasi wanita. mengekspresikan ketelanjangan yang sama dengan laki-laki adalah bagian dari perjuangan gender. Tentu akan ada anggapan bahwa kondisi yang membedakan antara lelaki dan wanita adalah untuk melindungi wanita dari otak ngeresnya kaum lelaki. Mungkin juga ada benarnya. Tetapi ini berarti bahwa masyarakat seolah membiarkan saja lelaki punya otak ngeres dan berpotensi menjadi penjahat kelamin, sementara wanita dengan dalih dilindungi lalu dilarang melakukan hal-hal yang merangsang otak ngeres lelaki itu. Persis di sinilah kemudian menjadi masalah ketika pegiat feminisme menyatakan penolakan terhadap superioritas kaum lelaki sebagai pelindung. Mereka mau menyatakan bahwa diri mereka bisa mandiri, tidak tergantung dari laki-laki.
Maitreya Real, pendiri organisasi goTopless.org mengatakan, seperti dikutip dari lamannya, "Selama para pria bebas bertelanjang dada, wanita juga harus diperbolehkan melakukan hal yang sama, atau pria diharuskan mengenakan pakaian dan menyembunyikan dadanya sama seperti kami," ungkapnya (vemale.com).
Bertelanjang dada semacam itu, menurut mereka justru diharapkan berguna bagi para pria untuk mengontrol otaknya agar tidak terlalu ngeres. Hemh... seru juga. Memang kemudian ada tuntutan bagi mereka yang 'nafsu' dengan terlalu fokus melihat wanita yang mengekspresikan kebebasannya ini bisa dipidanakan. Artinya, mereka akan berkata, kami memang mengekspresikan kebebasan tapi bukan untuk memenuhi mata keranjangmu. Awas... matamu melotot ke kami, kami akan menuntutnya ke pengadilan! Jadi, kalau wanita dilarang bertelanjang dada.... terlebih dahulu lelaki juga harus dilarang melakukan hal yang sama!
Perjuangan untuk bebas dari ketergantungan dengan lelaki itu juga tampak dalam konsep masyarakat Belanda yang lebih menghargai wanita yang berani memutuskan cerai dengan suaminya. Jadi, di Belanda seorang wanita yang berani bercerai dipandang lebih mampu mandiri dibandingkan mereka yang tetap tergantung dengan suami. Satu-satunya hal yang membuat wanita tetap bertahan hidup dengan suami yang kasar, misalnya, yang selingkuh, misalnya, yang poligami, misalnya adalah karena wanita itu takut bila nanti mereka berpisah dengan suaminya yang seperti itu, mereka tidak akan ada lagi yang menjamin hidupnya, yang melindunginya, yang menjamin pendidikan anak-anaknya, dll. Paling tidak begitulah pandangan mereka yang sangat menghargai hak-hak individu tersebut. Oleh karena itulah, mereka yang berani bercerai dianggap lebih berani mandiri dan tidak 'cemen'.
Lebih dari itu, sebenarnya saya sendiri menangkap bahwa mereka memperjuangkan sebuah perlakuan mereka yang istimewa sebagai sebagai wanita. Jadi, kalau pada masa emansipasi wanita mereka memperjuangkan kesetaraan gender yang sekarang ini sudah terpenuhi di negara-negara Barat pada umumnya, post emansipasi memperjuangkan keistimewaan sebagai wanita. Hal ini terutama dalam dunia kerja. Di Indonesia, ada cuti hamil untuk karyawati yang tidak didapat kaum lelaki. Ruang menyusui di tempat-tempat publik, praktis hanya berlaku untuk kaum ibu. Sekarang, mereka juga memperjuangkan agar cuti hamil bisa lebih panjang daripada yang sekarang berlaku. Selain itu, yang menarik, mereka juga memperjuangkan agar para wanita diberi kesempatan bekerja tetapi dari rumah, tidak harus selalu ke kantor meninggalkan anak-anak dan pekerjaan rumah. Alasan utamanya adalah bahwa mereka kan sebagai seorang wanita adalah ibu rumah tangga. Maka, hak untuk menjalankan kewajiban sebagai ibu rumah tangga mesti dipenuhi.
Kalau di Indonesia mungkin harus memilih, bekerja di kantor atau mundur dari pekerjaan agar bisa menjadi ibu rumah tangga. Saya katakan menarik karena, di negara yang sangat menghargai individu itu mempertimbangkan tuntutan semacam ini. Artinya, memang dimungkinkan mengerjakan pekerjaan kantor dari rumah. Bahkan seorang dokterpun bisa memantau pasiennya dari rumah. Prinsip mereka adalah ngantor ga ngantor yang penting kerja... agak beda dengan budaya kita, kerja ga kerja yang penting ngantor....
Dan bukan saatnya sekarang kita mengadili mereka..... saatnya adalah menganalisa secara tajam dan objektif bagaimana hal tersebut mesti dipertimbangkan dalam khasanah moral. Tentu saja tidak semua orang barat menyetujui hal tersebut. Di beberapa negara bagian di Amerika bahkan masih melihat ketelanjangan perempuan di depan publik adalah sebuah tindak kriminal yang berlawanan dengan hukum positif. Partai penentang arus liberalisasi semacam ini adalah partai republik yang dikenal konservatif. Jadi kita memang tidak bisa mengeneralisir bahwa begitulah mereka dan pasti begitu. Tidak serta merta, dan yang pasti dunia tidak hitam putih. Selalu ada warna abu-abu di antaranya dan kita mesti jeli dalam melihatnya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H