Eh... bukan saya yang ngomong goblok. Saya mah mana berani ngomong goblok, soalnya saya sendiri juga goblok. Yang ngomong adalah pakar komunikasi politik prof. Tjipta Lesmana di TV One 2 hari yang lalu. Saya sendiri sih netral dalam hal ini. Memuji ya ga, mengkritik juga tidak. Pasalnya pidato pak presiden sih sebenarnya biasa-biasa saja. Kan ada tim yang memang membikinkan. Siapapun tahu, para politisi negeri ini sebenarnya tidak ada yang berjalan sendirian. Selalu ada tim penasehat untuk membrandingnya.
Jadi pagi-pagi waktu itu, saya nonton editorial metro yang memuji-muji pidatonya pak presiden. dan seperti biasa pas iklan, saya ganti chanel. dapatnya TV One. sama-sama membahas pidato pak Jokowi. Tapi persis berkebalikan dengan Metro. Entah mengapa dua tivi ini ga akur-akur. Ga kompak. Mungkin nanti kalau Nasdem sama Golkar berkoalisi baru bisa akur.
TV One kebetulan menampilkan opini prof. Tjipta. Dan kelewat semangat sepertinya, sang profesor sempat mengucapkan kata goblok dan sedikit lebih lengkap yang goblok. Siapa yang digoblok-goblokin? tim perumus pidatonya pak Jokowi. Menurutnya, penyampaian pidato pak Jokowi memang bagus. Hanya saja, isinya sebenarnya sudah usang. Dalam arti tertentu tidak up to date atau kurang mengena.
Sebutlah misalnya ungkapan bahwa PBB tidak berdaya menghadapi permasalahan global. PBB berada di bawah tekanan the big five pemegang hak veto. Ini basi. Katanya pak Tjip, sejak jaman Soekarno juga sudah begitu. Lalu bicara tentang kesenjangan, lah... di Indonesia juga banyak kesenjangan. Kok harus mengkritik dunia, Indonesia saja ikut-ikutan di dalamnya. Artinya, Indonesia dengan menyetujui kapitalisme, ikut masuk ke dalamnya dan sebaiknya, sebelum mengkritik ke luar, ke dunia dan dalam hal ini PBB melalui KAA, ada baiknya instropeksi dulu.
Nah, yang paling parah adalah kritik pada IMF. kritikan Jokowi untuk IMF tak lebih hanya pencitraan politik saja dan cenderung membohongi publik. Pasalnya, ada kontradiksi di pidato itu mengkritik, tapi pada saat bersamaan Indonesia sedang meminjam pada saat itu pada IMF. Berhutang. Pidato pak presiden utopis dan tidak aplikatif.
Dalam arti itu saya setuju. Dalam banyak hal, pemerintah dan dalam hal ini presiden, seperti kehilangan roh nawacita yang dulu dikampanyekan. Pidato itu semestinya menjadi otokritik, apakah Indonesia memang sudah bisa membebaskan diri dari semua sehingga bisa mengkritisi keadaan dunia yang semacam itu?
Pasalnya, segalak-galaknya pemerintahan sekarang, sepertinya masih banyak kompromi di berbagai bidang. Yang dulunya membuka dialog dengan masyarakat kelas bawah, kini meja dialog itu seakan bumpet di kalangan elite.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H