Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Tanggung Jawab Keilmuan dalam Persidangan Kopi Bersianida

8 September 2016   16:32 Diperbarui: 9 September 2016   04:12 1909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terdakwa Jessica Kumala Wongso saat mengikuti sidang saksi kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin (Foto: KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)

Jujur saja, saya gagal paham berkaitan dengan tanggung jawab keilmuan yang terjadi dalam persidangan kasus kopi bersianida dengan terdakwa tunggal Jessica. Pasalnya, sejauh saya mempelajari, dalam dunia ilmiah mestinya ada sifat objektif dan juga terbuka. Yang membuat saya gagal paham adalah bagaimana bisa sebuah kajian dan penjelasan ilmiah digunakan dalam perspektif yang berlawanan untuk mendapatkan kesimpulan yang juga persis berseberangan arah. Ilmu menjadi alat untuk memberatkan sekaligus meringankan. Dan yang lebih menarik lagi adalah bahwa ini ilmu alam, biokimia. Kalau ilmu sosial masih agak bisa dipahami.

Saya kemudian ingat, dulu dalam peristiwa pilpres ada televisi yang persis punya dua visi berbeda satu sama lain dan keduanya melibatkan pakar pakar untuk menjadi narasumber. Waktu itu saya menuliskan sebuah pengkhianatan berkaitan dengan tanggung jawab ilmiah ketika analisa pakar digunakan dan disampaikan sekedar memenuhi pesanan  studio televisi. Seperti kita tahu TVONE waktu itu mendukung Prabowo. Maka, siarannya selalu menampilkan sisi baik kelompok ini. Sebaliknya, MetroTV selalu mengangkat kekurangannya. Media menjadi sarana propaganda yang menggelikan. Mereka akan menghubungi orang orang yang dikatakan pakar dan menjadi pemerhati politik.

gambar dari smubr.com
gambar dari smubr.com
Calon narasumber ditanyai bagaimana pendapatnya. Kalau cocok dipakai, kalau tidak cocok dicocok-cocokkan. Kalau terpaksanya tetap tidak cocok, pilih alternatif yang lain. Atau dibuat desain lain, kalau ada yang tidak cocok lalu dicarikan tandingan yang cocok kemudian mereka seperti diadu argumentasinya satu sama lain. Satu orang kubu lawan dihadapkan dengan beberapa orang yang sepaham dengan pemilik televisi. Yang menjadi pertanyaan dan keganjilan waktu itu, bagaimana dengan tanggung jawab keilmuannya. 

Bahkan apa yang disampaikan di televisi bisa dengan mudah dipatahkan dengan teori yang pernah ditulis oleh ilmuwan tersebut. Ini jelas pada hemat saya merupakan sebentuk pengkhianatan terhadap ilmunya sendiri. Atau dengan kata lain merupakan pengingkaran moral terhadap tanggung jawab keilmuannya.  Namun, dalam arti tertentu kalau mau memperhatikan lebih dalam, ada semacam kewajaran manakala ada perbedaan sudut pandang dalam ilmu sosial. Politik Dalam sudut pandang sosial, adanya perbedaan aliran bukanlah hal yang tabu. 

Demikian juga dengan ilmu lain. Perbedaan sudut pandang dalam arti aliran keilmuan bisa diterima sejauh secara fundamental bisa diterima. Namun demikian, kalau seorang ilmuwan sudah memiliki konflik kepentingan, tujuannya bukan lagi pada ilmunya atau tanggung jawab ilmu namun sekedar memenuhi pesanan ini sudah pelacuran akademis.

Hal yang agak berbeda ada pada dunia ilmu alam. Meskipun ada juga perbedaan aliran, tidak seluwes ilmu sosial. Artinya, kajian ilmiah dalam ilmu alam tidak bisa secara semena-mena dimanfaatkan untuk kepentingan pemesan atau kepentingannya sendiri. Bagaimana bisa ilmuwan yang satu menyimpulkan penyebab kematian korban karena sianida sementara yang satunya bukan karena sianida? Itu sebenarnya menjadi aneh dalam kasus kopi bersianida. 

Dunia ilmu merupakan dunia yang 'meragukan' lahir dari sebuah keraguraguan untuk mendapatkan sebuah kepastian.  Sementara dalam persidangan kemarin kedua belah pihak memberikan klaim kesimpulan yang dalam konsep mereka ini definitif. Memang, ahli sendiri, kecuali saksi ahli dari pihak penuntut umum, tidak ingin langsung memberikan kesimpulan. Mereka, memberikan kesimpulan setelah ditanya oleh pihak berkepentingan dalam pengadilan seperti jaksa, pembela, maupun hakimnya. 

Hakim memang menginginkan ketegasan. Hanya saja, dalam dunia ilmu, ketegasan sebuah kesimpulan tidak senantiasa diperlukan. Selalu dibutuhkan semacam kajian lebih lanjut. Lalu, kalau begini kapan kasus akan selesai?

Dalam dunia ilmiah, apapun kesimpulannya sejauh metodologinya benar, maka analisa itu bisa diterima. Sebaliknya, meskipun mungkin kesimpulannya benar kalau metodologinya tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka besar kemungkinan hal tersebut tidak akan dapat dipertanggungjawabkan. Dunia ilmu terbuka pada apa yang dinamakan dengan repetisi. Dia terbuka untuk diuji dan selalu diuji kebenarannya. 

Maka, kalau sebuah kesimpulan, meskipun benar, kalau metodologinya keliru, akan tertangkap juga. Pasti ada yang salah dalam prosesnya. Atau kalaupun ternyata konsisten, maka akan menjadi teori alternatif. Dalam kasus kopi bersianida kemarin menarik karena para ahli tersebut menggunakan metodologi dan juga ukuran yang berbeda dengan kesimpulan yang sama sekali berbeda.

Saya pikir siapapun akan setuju bahwa para pakar itu semestinya dipertemukan dalam sidang akademis untuk masing masing mempertanggungjawabkan ilmunya. Bukan di ruang sidang yang sarat kepentingan. Perbedaan cara pandang terjadi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun