[caption caption="Di antara ribuan pejiarah.... ada tempat utama yang menjadi tempat bagi para pejiarah beribadah"][/caption]
Siapa yang tidak mengenal Yohanes Paulus II dengan nama kecilnya Karol Józef Wojtyła. Nama yang sedikit aneh dan asing tersebut memang berasal dari daerah Krakow di Polandia, namun spiritualitasnya (dalam sebuah catatan di Jasna Gora) tidak terlepas dari nuansa religius wilayah ini. Sebagai perbandingan, mungkin seperti pastor-pastor dari daerah Jawa yang religiusitas kekatolikannya banyak digali dari tempat ziarah Sendang Sono di Muntilan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat Krakow yang sarat sejarah tidak banyak memiliki arti secara religius. Kecuali bahwa dari daerah ini muncul tokoh-tokoh yang religiusitasnya kuat dan cukup terkenal seperti Maximilian Kolbe, seorang biarawan Fransiscan yang rela mengajukan diri dihukum mati menggantikan seorang bapak terhukum mati yang mau dieksekusi pada masa Nazi. Pertimbangan yang cukup populer adalah biarawan ini rela menggantikan dirinya sebagai terhukum mati karena bapak keluarga itu masih punya tanggung jawab keluarga. Sedangkan dirinya, yang seorang biarawan tentu tidak ada ikatan duniawi semacam itu.
[caption caption="di sini banyak biarawan..... masih banyak orang yang terpanggil secara religius di tengah arus sekularisme Barat "]
Yohanes Paulus II memang menjadi ikon sekaligus menjadi kebanggaan bangsa Polandia. Banyak patung Yohanes Paulus II, sebagai orang bijak yang baik di abad ini, dapat kita jumpai di Polandia. Termasuk di Jasna Gora ini. Mungkin di sinilah dapat kita jumpai patung terbesarnya. Sampai sekarang, profil Wojtila (dibacanya voi ti wa) masih sering ditampilkan di televisi-televisi di Polandia dengan bahasa setempat. Sebagai bagian dari rumpun bahasa Slavic yang tidak ada hubungannya dengan bahasa Latin dan Inggris tentu kita akan merasa sangat asing di daerah ini. Nama Yohanes Paulus II misalnya, dikenal dengan bahasa setempat Jan Pawel II. Bahkan dengan memaksakan diri memahami bahasa Polandia yang menggunakan huruf latin, tidak lebih dari 10 persen yang tertangkap. Hampir sebulan saya di sini yang saya tahu artinya dan saya gunakan hanya kata jengkuya.... hahahaa... yang artinya terima kasih. Masih agak dekat dengan kata thank you. Parahnya lagi, di sini tidak banyak yang bisa menggunakan bahasa Inggris.
Kembali ke masalah religiusitas Barat ini, saya membayangkan bahwa Barat itu benar-benar sudah sekuler. Sangat tidak religius. Anti Tuhan. dan lain sebagainya. Nyatanya, ketika saya berkunjung di sini, gambaran itu sedikit berbeda. Orang-orangnya sangat religius. Gereja-gereja berfungsi dengan baik, bahkan menjadi kebanggaan mereka. Jasna Gora yang artinya bukit terang, menunjukkan betapa wajah religiusitas barat memang tidak seperti yang tergambar di sini atau banyak diceritakan. Saya sendiri berkunjung di sini bukan dalam rangka ziarah, tapi untuk traveling. Tapi, mengunjungi wilayah ini saya sungguh-sungguh hanyut dalam religiusitas tersebut. Betapa tidak, tidak kurang seribu orang berkunjung ke tempat ini setiap harinya. Jumlah tersebut meningkat pada bulan oktober yang bagi jemaat Katolik didedikasikan untuk Siti Maryam, ibunda Yesus.
[caption caption="Interior dalam Kapelnya mirip di Vatican"]
Di pintu gerbang masuk ke biara ini terpasang banyak bendera dari berbagai negara, orang-orang dari mana saja yang pernah datang ke sini. Memang ada bendera merah putih, tapi saya ragu apakah itu orang Indonesia yang memasangnya atau bukan mengingat Jasna Gora tidak terlalu dikenal di Indonesia layaknya Lourdes di Perancis. Di tempat ini, selain ada gereja utama yang sangat besar, terdapat juga kapel-kapel kecil dengan nuansa khas abad pertengahan. Suasana ini mirip dengan banyaknya kapel-kapel di Katedral Sant Pietro di Vatican. Di setiap kapel itu, banyak peziarah yang berdoa dan perayaan ekaristi digelar. Bahkan untuk mengikuti perayaan ekaristi di Gereja utama, jemaat harus antri hampir sepuluh meter. Ibadah dirayakan hampir setiap jam dalam satu hari dari pukul 04.00-21.00. Banyaknya orang yang antri itu meruntuhkan pandangan saya bahwa agama tidak punya masa depan di Barat. Dengan rasionalitasnya dan semangat kebebasannya, ternyata Jasna Gora dan lebih tepatnya bangsa Polandia masih mempertahankan sisi religiusitasnya.
[caption caption="Dokumentasi di sana... bendera-bendera dari para peziarah"]
Seni peradaban Kristen sangat kental ketika memasuki ruang-ruang gereja. Lukisan-lukisan dan patung rohani dengan sangat indah dapat kita saksikan di sini. Apalagi, cerita utama di sini terdapat lukisan Maria yang konon dilukis oleh Lukas penulis Injil. Lukisan Maria tersebut selamat dari perang di Turki dan kononnya lagi lukisan tersebut berasal dari Yerusalem. Tentang Ikon Maria di Turki saya jadi teringat Gereja Besar di Istanbul-konstatinopel Hagia Sophia yang kemudian berubah menjadi masjid dan akhirnya dijadikan museum. Di tempat ini, meskipun Gereja besar tersebut pernah digunakan sebagai masjid, namun ikon Maria masih bertahan sampai sekarang.