Seorang menteri, berjenis kelamin perempuan, tamat SMP, nyentrik, ngerokok di istana lagi... seandainya beliau adalah pengusaha biasa biasa, barang kali tidak terlalu bermasalah. Tapi, karena beliau adalah pejabat publik yang dalam banyak hal akan disorot media, maka ya jangan mengeluhkan media yang semacam memberitakan kejelekannya.
Tapi sebenarnya, berkat kenyentrikannya ini ibu menteri bisa 'ngartis' di hari pertama. Hehehe... Meskipun, sebagai menteri jelas bukan itu yang jadi ukuran prestasinya. Kalau saja dia adalah pengusaha, orang tak akan peduli dia lulusan apa, ngrokok apa ga, pakai sunglasses apa ga... pengusaha, jauh lebih privat. Dihormati oleh bawahannya dan tidak akan menjadi gunjingan masyarakat. Penghasilannya berapa, juga orang tidak akan terlalu ambil peduli.
Ketika mengajar kewirausahaan, sisi sisi semacam itu aku sampaikan. Enak jadi pengusaha itu, mau bangun jam berapa, berangkat kerja jam berapa dan sama siapa, ga ada yang ngatur. Bahkan, mau gaji berapa juga ga ada yang ngatur. Ijazah juga ga ditanyakan. Yang penting produktif, bagus, bisa memanage karyawan beres deh. IP ga perlu tinggi-tinggi, yang penting skill. Juga berkaitan dengan moralitas, sejauh tidak merugikan pihak lain sih, untuk pengusaha biasanya fine-fine ajah. Intinya sebagai pengusaha bisa diterapkan be your self.
Suasana agak berbeda bahkan jauh berbeda ketika masuk menjadi pejabat publik. Namanya juga pejabat publik, wajarlah kalau segala sesuatunya diamati publik. Dan, masyarakat yang sudah penat dengan beban hidup, suka memperbincangkan hal-hal yang remeh temeh dari sungalasses sampai urusan merokok. Sesuatu yang menjadi 'sisi lain' seorang pejabat ini akan menjadi menarik karena mereka disejajarkan dengan selebritis. Masalahnya, issu semacam ini kalau sudah masuk dalam ranah politik menjadi sangat krusial. Mulai dari kader PKS sampai elite Gerindra menyerang rokoknya bu Susi.
Baiklah untuk sementara memang ini menjadi bagian dari kesopanan. Ketika seorang wanita, pejabat publik merokok, jelas ini dianggap tidak sopan di Indonesia. Tapi sopan santun semacam ini belum terlalu krusial untuk menilai seseorang. Saya sendiri meyakini bahwa Jokowi ketika memilih ibu Susi, punya pertimbangan tertentu. Bahwa yang dia tekankan adalah orang-orang yang mau kerja keras, kerja keras, dan kerja keras. Yang mau ditunjukkan adalah bahwa bahkan seorang wanita pun, yang pendidikan formalnya terbataspun bisa mencapai kesuksesan. Maka, setiap warga negara Indonesia yang sekarang berpendidikan pasti juga bisa meraih kesuksesan.
Itu kalau dimaknai secara positif. Tapi ya namanya politik, selalu ada kekuatan penyeimbang dengan penafsiran yang penyeimbang juga. Selalu ada sisi negatif yang bisa dibesar-besarkan. Semua orang kan harus menjaga kesehatan, bahkan harus mempromosikannya. Maka, kontroversi rokoknya bu Susi ini bisa sangat kontra produktif dengan semangat Indonesia Sehat. Juga berkaitan dengan wajib belajar 12 tahun. Gimana dengan tanggapan, "ah... ga usah 12 tahun juga bisa sukses.... yang pendidikannya 24 tahun banyak yang korupsi..."
Maka, di sinilah kemudian perlu dibangun pendidikan yang pas ya, pak Anies Baswedan, Ya. Pendidikan karakter yang tidak membiasakan diri mencari pembenaran. Bu Susi, jangan merasa bahwa seolah-olah media yang salah hanya memberitakan negatifnya, tapi ya inilah suasana yang harus dihidupi sebagai seorang pejabat publik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI