Hukuman mati memang kontroversial di Indonesia. Saya sendiri termasuk orang yang dalam posisi menentang hukuman mati. Dan jujur saya tidak diuntungkan atau tidak mengambil untung apapun dengan sikap saya ini, kecuali bahwa sikap ini merupakan pertanggungjawaban atas pendidikan saya yang secara khusus mengkaji moral hidup. Bukan berarti saya kemudian kontra dengan mereka yang setuju dengan eksekusi mati. Saya bisa memahami, bahwa untuk mereka yang tidak terlalu mendalami moral secara ilmiah dan dalam arti tertentu etika secara ketat maka sikap pragmatis itu bisa mereka pilih.
Nah, salah satu pertimbangan moral adalah dengan melihat bagaimana sih sebenarnya perkembangan moral manusia ini. Teori yang bisa diambil adalah teori dari seorang psikolog, sebenarnya, bernama Kohlberg tentang moralitas. Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Kata bagaimana menalar moral menjadi penting saya garis bawahi karena di sinilah saya memaklumi mengapa orang yang mendukung hukuman mati lebih banyak daripada yang kontra.
Baiklah kalau kita sedikit melihat siapa itu Kohlberg. Lawrence Kohlberg (25 Oktober 1927 – 19 Januari 1987) dilahirkan di  Bronxville, New York dalam sebuah keluarga kaya dan belajar di Akademi Phillips, sebuah SMA swasta yang terkenal. Kohlberg kemudian mengajar pada 1962 di Universitas Chicago di Komite tentang Perkembangan Manusia. Pada 1968, dalam usia 40 tahun, ia menjadi profesor pendidikan dan psikologi sosial di Universitas Harvard. Ia terkenal karena karyanya dalam pendidikan, penalaran, dan perkembangan moral. Sebagai pengikut  teori perkembangan kognitif Jean Piaget, karya Kohlberg mencerminkan dan bahkan memperluas karya pendahulunya. Karyanya ini telah diperluas dan dimodifikasi oleh sejumlah pakar, seperti misalnya Carol Gilligan yang belakangan menjadi koleganya dan kritik terhadap teori perkembangan moralnya.
Tahapan moralnya dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal teori tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg. Tahapannya biasanya dikenal dengan tiga tahapan, pra konvensional (orientasi pribadi), konvensional (keserasian interpesonal), dan pasca konvensional (etika universal). Untuk menjelaskan itu, saya tertarik untuk melihat perkembangan nalar moral berdasarkan perkembangan kepribadian seseorang.
[caption id="attachment_364041" align="aligncenter" width="512" caption="Piramida moral Kohlberg. Gambar dari abagond.wordpress.com"][/caption]
Sebelum sampai pada teori itu, dia melakukan penelitian intercultural lintas benua. Dia menemukan bahwa moral itu bersifat intelektual yang di dalamnya memerlukan kemampuan untuk mengerti. Menurutnya, moral berkembang dalam 6 tahap meskipun hanya sedikit yang mencapai tahap keenam (moralitas otonom). Moral di sini harus dipahami sebagai motivasi orang bertindak.
Tahap pertama adalah moralitas ketika Bayi. Moralitas awal ini berprinsip bahwa yang baik itu yang enak dan memberi rasa nikmat, Â yang enak baik, yang ga enak ga baik (nikmat atau tidak). Pertimbangan moral ini kurang lebih sampai saat anak berusia 3 tahun. Prinsip ini berkembang sebagai prinsip hedonisme atau yang lebih dasar adalah prinsip eudaimonisme. Sepertinya, hukuman mati juga memenuhi prinsip pertama yang awali ini. Apa yang dikatakan sebagai keadilan, nyawa ganti nyawa, memberi rasa puas rasa nikmat secara psikologis kalau pelaku mendapatkan balasan setimpal. Yang penting dia dibalas, itu saja. Meskipun, tentu saja ada pertimbangan lainnya juga. Mari masuk pad tahap berikutnya, tahap kedua.
Pada usia 3 tahun ke atas, seorang anak biasanya lebih pinter. Dia tahu bahwa apa yang enak bagi saya belum tentu enak bagi orang lain. Moralitasnya mulai memperhatikan orang lain. Maka prinsip yang berkembang adalah saya mencari nikmat tanpa merugikan orang lain (etika bisnis, simbiosis mutualisme). Ini sebenarnya belum etika, baru pertimbangan kepentingan. Dalam perkembangan lebih lanjut, prinsip ini menjadi prinsip utilitarian. Memahami hukuman mati dalam konteks ini biasanya dan ini yang dipraktekkan jaman dulu adalah hukuman mati diterapkan agar orang lain tidak melakukan hal serupa. Itulah sebabnya dahulu hukuman mati dilakukan di tempat-tempat publik. Perhatikan kelemahannya di sini, seseorang dijadikan sarana agar orang lain tidak melakukan.
Tahap ketiga adalah tahap usia lima tahunan. Seorang anak melakukan yang baik dengan pertimbangan pujian. Yang baik adalah kalau dipuji orang, terutama yang dekat. Itulah sebabnya, seorang anak bisa saja merasa tidak perlu makan, tapi dipuji baik. Itu baik. Melakukan apa yang dipuji. "ih pinter anak manis.... makanannya diberikan temannya...." Dalam politik hukum di negeri ini, sepertinya motivasi ini juga ada dalam penegakan hukum, terutama tegas terhadap hukuman mati.
Tahap keempat yang biasanya terjadi pada anak remaja dan menjelang remaja adalah tahap sosial di mana seseorang berorientasi untuk diterima secara sosial. Tahap ini adalah tahap menyesuaikan diri jadi kelompok abstak (negara, hukum kadang juga agama). Berkorban bagi bangsa, negara, dan agama adalah prinsipnya. Kelompok sosial lebih besar lebih penting misalnya dibandingkan dengan keluarga. Loyalitas bagi kelompok akrab. Right or wrong my country. Right or wrong my religion. Dll.
Tahap ke lima adalah tahap kedewasaan ketika orang mulai bisa berfikir kritis. Etika tidak lagi dirumuskan dalam penyesuaian diri, tapi dalam mengambil sikap. Bisa kritis. Agama dan negara bisa ditafsirkan salah. Di sinilah biasanya kelompok sosial seperti agama dan negara merasa mulai anti dengan moralitas yang otonom dan bersifat kritis. Bahwa negara memperbolehkan hukuman mati, bahwa agama juga memperbolehkan sah-sah saja. Tapi perhatikanlah bahwa hukum itu bukan sesuatu yang natural sesungguhnya ada. Hukum adalah kesepakatan dan sebuah konsekwensi dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Bahkan negara dan agama pernah menghukum mati dengan alasan yang remeh-temeh. Ini menunjukkan bahwa penafsiran atas kedua hal tersebut perlu untuk dikaji secara lebih jernih.
Lebih lanjut adalah tahap moral yang dewasa. Pada tahap ini, orang bertindak berdasarkan prinsip etis universal. Prinsip dasarnya keadilan. Bukan apa yang menguntungkan, menyenangkan, dipuji, atau loyalitas kelompok tapi didasarkan pada suara hati atau hati nurani. Biasanya prinsip ini dibenci oleh rezim totaliter. Tahap 6 ini adalah tahap suara hati.
Di dalam moral hidup dikenal prinsip sanctity of life dan juga prinsip involability. Prinsip kesucian hidup manusia biasanya berpedoman bahwa hidup itu adalah anugerah dan manusia hanya administrator saja atas kehidupannya. Manusia memang memiliki hidupnya, tapi dia bukan pemilik mutlak kehidupannya. Dia tidak bisa sewenang-wenang terhadap hidupnya. Itulah biasanya yang secara teologis dikatakan sebagai kesucian hidup manusia. Maka ini mendapatkan konsekwensi logis bahwa hidup manusia tidak bisa diganggu gugat (inviolable).
Maaf saja, saya bukan orang yang terbiasa membawa-bawa nama Tuhan sehingga saya tidak begitu saja mengatakan bahwa hidup dan mati di tangan Tuhan. Terlalu spekulatif biasanya. Tapi saya bisa membuat rumusan bahwa kita harus memperjuangkan kehidupan untuk mereka yang sudah hidup. Yang hidup biarlah tetap hidup, karena dia hidup. Bahwa membunuh yang hidup untuk melindungi yang hidup lainnya dan ini tidak berkorelasi langsung, sesungguhnya sangat lemah sebagai argumentasi moral.
Memang bukan sesuatu yang menyenangkan menerima kenyataan bahwa sebuah rasa sakit tak terbalaskan atau orang jahat dibiarkan hidup. Tetapi moral bukan masalah menyenangkan atau tidak, memuaskan dan menguntungkan atau tidak, tapi memenuhi prinsip utama kemanusiaan.
Saya sendiri tidak pertama-tama mengkritisi penegakan hukumnya. Tapi, saya melihat bahwa hukum sebagai perwujudan moral sudah saatnya menghapus hukuman mati dan mencari alternatif lain yang lebih efektif dalam memerangi kejahatan-kejahatan yang serius. Tidak mungkin memerangi kejahatan dengan cara-cara yang dilakukan oleh penjahat. Itu hanya mengambil alih moralitas yang tidak baik.
Oleh karena itulah saya bisa memahami bahwa begitu banyak orang yang menentang mereka yang kontra terhadap hukuman mati karena ada unsur-unsur terpenuhi dalam hukuman mati (menyenangkan, memuaskan, dipuji, dan mungkin ada pertimbangan untung rugi), meskipun sebenarnya belum merupakan penalaran moral yang dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H