Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Homo Homini Lupus, Sebuah Fakta di Sekitar Kita

20 Januari 2014   09:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:40 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia itu serigala bagi yang lainnya. Kita melihat ada penebar ranjau paku. Tukang tambal ban kemudian membuat tarif berdasarkan waktunya. kalau siang hari ya Rp. 10.000,00 kalau malam hari sampai Rp. 80.000,00. Itu terjadi saat Jakarta sedang kering. Artinya, sedang tidak ada genangan air atau yang disebut dengan banjir. Berbeda lagi dengan saat air hujan menggenang, para 'malaikat' datang kepada pengendara-pengendara yang mogok. Malaikat itu adalah pembawa gerobak yang membawakan kendaraan mereka. Sayangnya malaikat itu berbayar. Tarifnya beragam, mulai 20 ribu sampai 90 ribu rupiah. Maka kalau ditanyakan, apakah ini motivasinya kemanusiaan? saya kira tidak perlu juga dipertanyakan. [caption id="attachment_290976" align="aligncenter" width="285" caption="gambar dari www.tribunnews.com"][/caption] Bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan hasil, itu benar. Tapi, tujuan yang benar dan mulia ini tidak semestinya dilakukan dengan cara-cara yang salah. sebagian orang mengatakan, "ah...basi!!! omong-omong suci!" ungkapan itu justru menampakkan bahwa dunia semakin kehilangan manusia, manusia yang hadir dengan pikiran, hati, dan badannya. Manusia menjadi sangat mekanis. relasi mereka hanya relasi yang saling menguntungkan. Masih agak baik, tapi kalau orang mencari keuntungan atas penderitaan orang lain, benarlah apa yang dikatakan Plautus Asanaria dulu, homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Ini bukan masalah setuju atau tidak, karena sebagian pengajar melihat ungkapan ini sebagai sebuah pendapat. Fakta di atas kiranya justru menunjukkan kecenderungan dasar manusia, sebagai serigala bagi sesamanya. Akibatnya: masyarakat kehilangan rasa aman. Mereka selalu ada dalam ancaman bahaya. Bayangkan kalau pengendara yang mogok itu tidak punya uang! apa yang bisa dia perbuat? Hal ini mengingatkan saya pada tema dasar Inferno, tulisan Dan Brown. Dalam tulisannya, dia menafsirkan karya Dante bahwa suatu saat kelak, ketika manusia sudah sedemikian padat populasinya, mereka akan saling memakan satu sama lain sampai kemudian mendapatkan titik keseimbangannya kembali dengan alam. Ada benarnya juga. Manusia sekarang ini kehilangan relasi cinta. yang ada hanyalah relasi fungsional. orang lain adalah komoditas, aset yang bisa dimanfaatkan. Kalau tidak bermanfaat, tidak dianggap lagi. Kadang, kalau dihitung-hitung dia merugikan, dia bisa disingkirkan. [caption id="attachment_290974" align="aligncenter" width="252" caption="gambar dari en.wikipedia.org"]

13901860991679725452
13901860991679725452
[/caption] Maka, tidak salah kalau kemudian Thomas Hobbes menggunakan kecenderungan dasar manusia untuk membicarakan tentang negara. Teori kontrak sosial, salah satunya untuk menjamin hidup masyarakat agar bisa mengurangi atau menekan dampak dari homo homini lupus ini. Saat, manusia mulai menjadi serigala bagi yang lain, mencakar dan merugikan manusia lainnya, seharusnya negara hadir sebagai penengah dan penolong. Maka, ketika keadaan sosial terjadi semacam itu, kita bisa bertanya, sudah adakah fungsi negara?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun