Guru agama sebagai pengajar moral sebenarnya banyak yang tak menyukai etika. Meskipun mereka kadang dan sering menyebut etika. Tapi etika sekedar sebagai sebuah hafalan dan bukan dalam praktek.
Ambillah sebuah contoh dari pertanyaan filosofis etis, seberapa harus orang mengikatkan diri dalam perkawinan. Ini menarik. Mereka menggugat perkawinan dalam sebuah pertanyaan filosofis etis. Jawaban dari agama umumnya mengatakan ini sudah kewajiban agama. titik. Untuk mengatur kehidupan masyarakat agar lebih jelas. Kaum rasionalis etis akan mengatakan, apakah pengaturan itu melulu melalui perkawinan? Dalam masyarakat primitif, perkawinan malah tidak seketat agama. Agama mengatakan, itu kan karena mereka belum mendapatkan wahyu. Dan di sinilah menariknya etika, dia akan terus bertanya, dasar otoritas wahyu dalam etika itu apa.
Tentang keluarga, Plato misalnya memiliki pemikiran yang menarik dengan menentang ikatan keluarga. Pemikiran Plato adalah sebentuk komunisme klasik di mana laki-laki dan wanita tidak perlu menikah, meskipun boleh pada saat-saat tertentu mereka berhubungan badan. Anak-anak yang dilahirkan akan dikelola negara dan hanya laki-laki dan wanita unggulan yang boleh memiliki anak agar anak-anaknya nanti menjadi anak-anak atau generasi yang memang unggulan.
Lepas dari setuju atau tidak, yang jelas pemikiran rasional Plato kan juga salah satu pemikiran alternatif filosofis etis. Kaum agamawan akan menertawakan pemikiran ini. Padahal dalam ruang lingkup etika, pertanyaan masih berlanjut misalnya kenapa harus lelaki dan wanita. Kenapa tidak boleh sejenis. Mengapa percintaan sejenis ditentang dan mereka yang melakukannya dianggap kelainan. Di sinilah kemudian kita bisa memahami agama cenderung menolak konsep kebebasan termasuk kebebasan berfikir. Padahal etika sebagai sebagai filsafat moral lahir dari sebuah kebebasan berfikir.
Dalam kajian ilmu yang bersumber dari pemikiran ilmiah, filsafat memang lahir dari pemberontakan terhadap dogma-dogma agama. Bagi kaum agamawan rupanya filsafat memiliki catatan yang tidak bagus, Al Gazhali, guru agama yang sangat dikagumi pernah menulis sebuah buku berjudul tahafut al falasifa (kesesatan filsafat) dan ini cukup efektif menghancurkan kemajuan filsafat dalam dunia Islam.
Sekarang, filsafatpun mendapatkan kesan yang tidak baik. Belum lama ini ada berita heboh dosen filsafat di sebuah universitas muhammadiyah konon menginjak al quran. atau sebelumnya ada poster yang dibuat oleh mahasiswa filsafat UIN dengan tulisan Tuhan membusuk. Kecuali dalam pemikiran filosofis etis, kedua hal tersebut sulit untuk diterima.
Etika adalah salah satu cabang filsafat. Oleh karena itulah etika sebenarnya tidak disenangi oleh guru-guru agama. Untuk memahami hal itu sesungguhnya kita bisa melihat dari metodologinya. Agama lahir dari sebuah dogma dan pewahyuan sedangkan etika lahir dari sebuah pertanyaan. Bagi kaum agamawan, mereka berfikir seharusnya pertanyaan etika dan ilmu pada umumnya mendapatkan jawaban dalam agama. Sayangnya bagi para ilmuwan positifis, agama sama sekali tidak memadai. Agama yang mengajarkan moral, sesungguhnya belum cukup universal dalam kajian filsafat moral.
Misalnya saja perdebatan dari kelompok monogamis dan poligamis. Bagi penganut ajaran yang memperbolehkan poligami, ajaran monogami tidak realistis. sedangkan bagi penganut monogami ajaran poligami tidak ideal sebagai pegangan moral. Secara lebih radikal, kaum ilmuwan etika bertanya pada akarnya, kenapa harus menikah?
Adalah Bertrand Russel yang menulis buku dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bertuhan tanpa agama dan dia mengatakan bahwa kejahatan agama yang paling besar adalah karena lebih banyak menuntut kepercayaan daripada bukti. Dalam hal etikapun rupanya berlaku demikian. Jangan bertanya macam-macam terhadap ajaran moral agama, kecuali kamu masuk ke dalam golongan orang yang merugi, kafir , dan sesat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H