Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Erotis Itu Seni, Bukan Pornografi (Memaknai Angel Lelga)

27 Januari 2014   09:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angel Lelga kini berhijab setelah mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Dengan berhijab, dia ingin tampil sebagai seorang yang saleh dan jauh dari kata tidak sopan. Tidak lama sesudahnya, muncul foto beliau yang topless. Tentu ini bagian dari olok-olok. Dikatakan, iniah foto hotnya Angel. Sebagian mengatakan yang semacam itu ‘saru’, porno. Sebagian lagi melihat ini seni. Mengapa perbedaan penafsiran itu terjadi? Apakah tidak yang mengatakan porno itu otaknya. Otaknya lebih porno daripada objeknya yang sesungguhnya biasa-biasa saja?

[caption id="attachment_292343" align="aligncenter" width="250" caption="album virus, gambar dari sub4all.blogspot.com "][/caption]

Sementara sebagian yang mengatakan itu seni, mungkin saja dia sedang munafik. Menanggapi hal ini, tiba-tiba saja saya teringat materi kuliah etika komunikasi yang pernah saya ajarkan.  Sebagian materinya saya ambilkan dari buku etika komunikasi karangan Haryatmoko yang terbit tahun 2007. Dengan demikian, materi ini tentu bukan materi baru sama sekali, tapi semoga tetap aktual. Kemudian, saya ingin berbagi kembali, apakah sebenarnya perbedaan antara erotisme sebagai seni dengan pornografi? Yang jelas, keduanya menampilkan objek tubuh manusia yang telanjang.

Menurut Haryatmoko, yang banyak mengambil referensi dari Dubost, pornografi menampilkan ketelanjangan secara mentah dan mengeksplorasi hubungan seksual seterang-terangnya. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Bahkan, cenderung ada unsur manipulasi (hiperalis dalam istilah Baudrillard). Berbeda dengan sebuah seni erotis, ia menampilkan sebuah simbol. Jadi apa yang terlihat dan terbaca itu adalah simbol, dan bukan ‘hal’nya sendiri yang mau disampaikan.

Yang kedua, dalam eksplorasi pornografi, jelas tidak ada apa-apa yang mau disampaikan, kecuali mempertontontonkan aktivitas seksual. Pembaca atau penonton tak perlu pusing-pusing menafsirkannya. Semua sudah terang dan gamblang. Dalam sebuah seni, umumnya selalu ada yang ingin disampaikan di balik tampilan itu. Bahkan, sering-sering pesannya tidak berhubungan sama sekali dengan hasrat seksual.

Yang keempat berkaitan dengan dampak. Ada baiknya saya mengutip saja beberapa alinea dari bagian tulisan ini:

Ada empat dampak langsung yaitu depersonalisasi tubuh, tiadanya tuntutan kebenaran, tirani terhadap liyan, dan estetika buruk-muka.

Pertama, depersonalisasi (hilangnya kepribadian tubuh) tubuh dipahami sebagai upaya untuk menarik keluar dari tubuh semua hal yang merepresentasikan kepribadian seseorang. Dilepaskan dari semua yang lembut, perasaan, yang manusiawi dan hubungan kesalingan, pornografi menampilkan wajah kekerasan seksualitas.

Kedua, tiadanya tuntutan kebenaran disebabkan oleh imperatif ‘semua sudah kelihatan’. Gambar sudah menampilkan semua, maka tidak perlu lagi menebak atau menafsirkan. Dengan demikian, berkurang tuntutan akan kebenaran karena pornografi menolak yang tersembunyi atau yang potensial. Proses pembodohan terjadi karena penonton atau pembaca tidak diajak berfikir atau berefleksi. Tidak ada proses mengolah, mengedepankan, apalagi pemikiran kritis. Yang diminta hanya menelan, mengkonsumsi supaya hasrat seks terangsang.

Ketiga, tirani terhadap liyan terjadi karena subjektivitas liyan dilucuti. Dalam pornografi, tubuh adalah tanpa kehidupan, wajah tanpa ekspresi. Dalam hubungan semacam ini, yang dicari hanyalah kenikmatan diri, yang lain hanyalah alasan dan sarana.

Keempat, estetika buruk-muka sangat menonjol dalam pornografi. Ketelanjangan ditampilkan tanpa keprihatinan akan keindahan. Obsesi utama adalah merangsang hasrat seks dan keingintahuan sehingga tidak mempedulikan segi estetis. Tiadanya perasaan atau kelembutan yang terlibat berarti tiadanya kedalaman diri.

Lain dengan erotisme, karena memungkinkan suatu style, bahasa, dan penantian, ia bisa menerima kehadiran liyan. Erotisme menyangkal kemahakuasaan ‘semua harus kelihatan’, maka keterbatasan kemampuan gambar justru menjadi celah keberadaan erotisme. Erotisme adalah seni waktu. Tekanan erotisme pada imajinasi dan sugesti bukan merupakan prinsip, namun bagian dari konsekuensi.

Dalam erotisme, yang lebih tampak adalah pengungkapan hasrat daripada penonjolan tubuh yang telanjang. Maka, butuh keterlambatan bahkan kelambanan, toleran terhadap waktu, dan membiarkan adanya perkembangan. Dalam erotisme, ada kisah, terselip pandangan yang tak terkatakan, memiliki konteks, dan menolak semua bentuk ketergesaan. Maka erotisme menolak kodifikasi dan stereotipe. Ia memahami resiko hubungan yang sampai pada hasrat manusiawi yang autentik. Keindahan dalam erotisme bukan perayaan kenikmatan diri, tetapi untuk memberi wajah pada tubuh.

[caption id="attachment_292346" align="aligncenter" width="185" caption="buku etika komunikasi, gambar dari siper.mmtc.ac.id "]

13907894081275659505
13907894081275659505
[/caption]

Sebagai catatan, Haryatmoko juga menunjukkan bahwa semua erotisme selalu beresiko menjadi pornografi. Pada karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara erotisme dan pornografi, selain karena subjektivitas penilai, juga disebabkan oleh ambiguitas hubungan yang dipertaruhkan. Ambiguitas itu berasal dari sejauh mana tubuh menghindar dari representasi. Nilai seni terletak dalam muatan wacana, kisah, konteks, dan ingatan, yang pada gilirannya menentukan kelembutan dan intensitas tubuh.

Nah, sekarang marilah kita kembali ke kasus foto toplessnya Angel Lelga yang ada dalam album Virusnya Slank. Pada hemat saya, foto tersebut tidak ingin merangsang secara seksual. Apalagi, foto yang sebenarnya hanya ditampilkan sebagian. Ini adalah bagian dari seni. Kalaupun kemudian dianggap hot atau panas atau vulgar, itu lebih dalam konteks tempat saja. Budaya Indonesia seakan tidak bersifat permisif terhadap karya seni yang semacam itu. Mungkin juga berkaitan dengan waktu. Ada waktu ketika hal-hal semacam itu oleh masyarakat dianggap biasa saja. Sayangnya, kita tidak terbiasa memaknai. Dengan demikian, cenderung mentah ketika melihat sesuatu, sehingga sebuah seni bisa hadir tanpa makna dengan demikian mudah terjebak pada definisi pornografi.

Ada beberapa hal yang tidak bisa dihindarkan dari ketelanjangan manusia. Misalnya, ketika belajar biologi. Mempelajari organ tubuh manusia sangat sulit dengan menghindari ketelanjangan. Atau seorang perawat yang memandikan pasien. Atau ketika anda melihat bayi-bayi telanjang tanpa dosa. Di sebagian kebudayaan, bahkan ketelanjangan dianggap sebagai sesuatu yang biasa biasa saja. Kalaupun kemudian ada yang menganggap ini porno, barangkali hasrat itu sudah terlebih dulu ada di otak sebelum objeknya ada.

[caption id="attachment_292349" align="aligncenter" width="259" caption="Apakah anda terangsang?  tentu bisa dikatakan, ini porno atau tidak.    gambar dari: wisata-kelilingindonesia.blogspot.com"]

1390789569928570045
1390789569928570045
[/caption]

Salam kompasiana!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun