Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belum Ada Presiden Indonesia yang Happy Ending...

10 September 2014   16:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:07 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1410316186140790871

Peristiwa Jero Wacik, seorang yang dikenal relijius tapi kemudian menjadi tersangka kasus pemerasan menjadi tamparan tersendiri bagi Demokrat dan akhir pemerintahan SBY. Bagi pak Jero pribadi, kasus tersebut seakan menjadi babak akhir karier politiknya, yang sedianya akan dilantik menjadi anggota DPR. Pro kontra pelantikannya sebagai anggota DPR justru menunjukkan kompromi politik yang tidak punya political will terhadap pemberantasan korupsi.

Ini salah satu sad ending pemerintahan SBY periode kedua. Meskipun mungkin ini berupa kebanggaan bapak presiden yang ingin menunjukkan bahwa pemerintahannya sigap dalam memberantas korupsi yang tidak pandang bulu, tapi banyaknya lingkaran dalam yang terkena kasus korupsi, an sich sebuah skandal dan tragedi. Indikasi sad ending kedua adalah subsidi BBM. Dalam kasus ini, ketidaksediaan SBY untuk mengurangi subsidi BBM justru bernuansa politis daripada pertimbangan objektif untuk kesejahteraan rakyat. Tentu kita masih ingat, siapa yang paling ngotot menolak penghapusan subsidi BBM ketika wacana ini diperjuangkan oleh koalisi pemerintahan sekarang. Akhirnya, Jokowi kena getahnya. Dulu nolak-nolak, kalau sekarang dihapus jelas sudah telat.

Point saya justru ada pada warisannya. Sekarang SBY mewariskan 'kewajiban' untuk Jokowi mencabut atau mengurangi subsidi BBM. Ini bukanlah akhir yang menggembirakan. Kita ingat bagaimana dulu Megawati mewariskan hal serupa pada SBY. Megawatipun, meningggalkan takhta bukan dengan kelegowoan. Presiden perempuan pertama Indonesia itu bahkan masih menyimpan rasa 'sakit hati' kepada presiden pengganti beliau mungkin sampai sekarang. Lihatlah sikapnya yang tak pernah datang ke upacara-upacara kemerdekaan yang dipimpin oleh SBY. Sungguh, ini sebuah skandal yang tidak memberikan keteladanan nasionalisme. Sad ending rezim yang berkuasa di Indonesia ini, seperti kutukan empu gandring dari penjajah. Belanda dan Jepang, tidak rela kalau Indonesia merdeka.

Pemerintahan Soekarno berakhir tak kalah tragis. Pidato pertanggungjawabannya, Nawaksara, ditolak. beliau diberhentikan sebagai presiden dan kemudian menjadi tahanan rumah. Konon, dokter yang menanganinya ketika sakit, bukanlah dokter yang pantas untuk presiden. Beberapa sumber menyebutkan bahwa dokter Soerojo yang seorang dokter hewan dikirim untuk merawat sakit beliau di usia tua. Dan kita tahulah, bagaimana perlakuan rezim orde baru terhadap dinasti sang proklamator.

Presiden kedua, Soeharto juga berakhir tragis di tahun 1998. Ra dadi presiden, ora patheken. Salah satu ungkapan yang barang kali mitos yang terdengar dari sang smile general. Krisis ekonomi menjadikan beliau terjungkal dari takhta kekuasaan. Kekuasaannya yang begitu lama mewariskan banyak permasalahan dalam dinamika negara Indonesia. Penggantinya adalah bapak BJ Habibie. Ya, tapi kita tahu bagaimana kiprah presiden yang berasal dari kalangan teknokrat ini. Keberadaan Habibie di kalangan politikus, sungguh seperti seorang perawan di sarang penyamun. Ia hanya menjadi boneka di masa transisi yang kemudian banyak dihujat dengan lepasnya timor timur.

Presiden terpilih kemudian, Gus Dur. Meskipun kyai nyentrik ini mungkin tanpa beban melepaskan takhta kepresidenan, tapi itu bukan berarti happy ending. Ia dilengserkan dengan paksa karena kebijakan-kebijakannya yang tak kalah nyentrik. Kalau anda lihat gambar ini, entah sang presiden ter'lengser' sedang mau memberikan sinyal apa. Yang jelas, sampai saat ini, belum ada presiden Indonesia yang Happy ending. Bagaimana dengan Jokowi? kita lihat saja....

lambaian Gus Dur yang legendaris. gambar dari www.seribukata.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun