[caption id="attachment_352478" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: Survei Litbang Kompas/KOMPASIANA (Kompas.com)"][/caption]
"Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya berfikir objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui kesalahan." (Jujun S. Suriasumantri dalam Filsafat Ilmu, hal.244)
Lembaga survei, bagaimanapun dilakukan dengan metode-metode ilmiah. Pelakunya adalah ilmuwan-ilmuwan, kalau demikian. Dengan dasar itu, akhirnya pelaku-pelaku survei seharusnya bertanggung jawab secara keilmuan dengan sifat-sifat yang disebutkan oleh pak Suriasumantri tersebut. Saya mau menggarisbawahi 2 sifat utama yang seharusnya ada dan bisa dimanfaatkan berkaitan dengan lembaga-lembaga survei yang memenangkan kubu Prabowo-Hatta ini, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar dan kalau memang salah, berani mengakui kesalahan. Sayangnya, lembaga-lembaga survei dalam quick count yang telah menyebabkan gonjang-ganjing pilpres itu seperti menguap tanpa jejak yang bermanfaat.
[caption id="attachment_318835" align="aligncenter" width="240" caption="Direktur Puskaptis, gambar dari www.kaskus.co.id"]
Kalau memang benar dan seharusnya kukuh dengan pendirian itu, masing-masing lembaga survei seharusnya bisa menjadi referensi kunci dalam gonjang-ganjing sengketa pilpres di MK. MK akan memerlukan dan biasanya menghadirkan saksi ahli. Dengan bahasa sederhana, kalau merasa benar dan yakin benar dengan metodologinya, seharusnya keempat lembaga survei berani 'ngotot' memperjuangkan kebenarannya.
Kengototan ilmiah ini tentu saja penting dan di situ kalau memang ada sesuatu yang salah dan diselewengkan harusnya segera terdeteksi. Dengan demikian, ungkapan-ungkapannya bukan hanya bersifat politis yang hiperbola, tapi bisa sedikit lebih ilmiah dan terukur. Sangat disayangkan bahwa sejak awal sepertinya keempat lembaga survei ini tidak koperatif, kecuali dengan TV ONE yang mengatakan keempat lembaga itu, Puskaptis, LSN, JSI, dan IRC adalah lembaga yang kredibel.
Mungkin ketidakmauan untuk kooperatif dalam hal ilmiah itulah kemudian yang mendorong beberapa aktivis yang tergabung dengan PBHI untuk mempidanakan keempatnya. Mereka lebih melihat efeknya bagi masyarakat yang merasa 'dibodohi' dan diombang-ambingkan oleh lembaga-lembaga survei yang berbeda-beda. Jangan-jangan kalau pesertanya empat dalam pilpres kemarin hasil surveinya juga empat versi. Memang ini menjadi sangat serius berkaitan dengan tanggung jawab sosial sebuah lembaga yang menyatakan diri berdasarkan metodologi yang ilmiah.
Kengototan dalam arti tertentu dari lembaga survei ini seharusnya juga digunakan untuk mematahkan klaim bahwa sebenarnya pihak yang berbeda salah. Litbang Kompas, LSI, RRI, dll bisa dipertanyakan kredibilitasnya didasarkan pada metodologi Puskaptis dkk. Nah, sifat ketebukaan para ilmuwanlah yang diperlukan di sini agar mereka bisa menjadi contoh, bukan saja memberikan informasi. Sebenarnya dengan data-data ilmiah, pengecualian-pengecualian yang terjadi akan dengan mudah dipetakan dan ditemukan. Salah satu fungsi penelitian ilmiah memang memberikan semacam ramalan akan apa yang akan terjadi.
Bayangkanlah sebuah ramalan cuaca. Bisa salah, bisa juga benar. Kalaupun salah, biasanya bisa juga diterima, bukan ramalannya yang salah, tapi ada faktor lain yang biasanya juga sudah diperhitungkan. Harusnya hujan neh, kok ga jadi hujan? oh... ternyata ada angin yang berbelok arah. Makanya, ramalan-ramalan para ilmuwan biasanya dengan prosentase kemungkinan. kemungkinan besar hujan misalnya. Hal ini berbeda dengan ramalan orang-orang 'pintar' para dukun. Mereka seringkali mengklaim kebenaran ramalan seratus persen. Kamu pasti akan kaya, kalau pakai jimat ini. Dengarkan deh bahasa para dukun. Kamu pasti sembuh dengan makan kembang tujuh rupa.
Ramalan dan fakta akhir yang berbeda, bukan hanya bisa dipetakan dalam metode ilmiah, bahkan sudah bisa diperkirakan. Kalaupun terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif harusnya sejak awal sudah terendus atau teramal juga. Nah, sayang sekali bahwa lembaga-lembaga survei ini seakan menghilang tanpa pertanggungjawaban. Saya yakin, seandainya MK akhirnya memenangkan hitung-hitungan internal kubu Prabowo Hatta, lembaga survei Litbang KOMPAS dkk akan segera mencari kemungkinannya, di manakah ada yang salah. Kalau tidak ditemukan, investigasi mereka akan digunakan sebagai salah satu acuan untuk menjadi materi hukum.
Sekarang yang terjadi, keempat lembaga survei seperti meninggalkan tanggung jawab seorang ilmuwan yang semestinya terbuka dan berani mempertahankan kebenaran kalau memang yakin metodologinya benar.