Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku Berpura-pura, Maka Aku Selamat

4 November 2014   18:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:42 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu kesamaan manusia dengan binatang dalam menyelamatkan diri adalah kemampuannya berpura-pura. Bunglon berkamuflase dengan warna di sekitarnya. Serangga menempel pada batang pohon dan menyerupai batang. Ulat akan berwarna sama dengan kulit kayu. Bahkan ada binatang yang berpura-pura mati agar tidak diganggu oleh binatang lainnya. Manusiapun, untuk selamat juga disyaratkan untuk bisa berpura-pura. Bahasa kerennya sih beradaptasi alias mampu menyesuaikan diri. Tentu ga selalu salah, tapi kalau kebanyakan berpura-pura, kan dia akan menjadi orang lain dan bukan dirinya sendiri. Padahal, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar selain mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang outentik, yang khas, dan bahasa sederhananya apa adanya.

Manusia pun memiliki perilaku yang sama. Kita berpura-pura di hadapan orang lain, guna mencapai tujuan kita. Orang menyebutnya sebagai kemampuan beradaptasi, atau kemampuan untuk menyesuaikan diri. Namun, di balik itu, kita tahu, bahwa kita berusaha memoles tampilan luar kita, agar sesuai dengan keadaan di luar diri kita. Bahkan, kita menipu diri kita sendiri, demi supaya bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar kita. Ibarat orang main kartu neh, dia memang harus bisa tampil kalem dan kelihatan percaya diri meski kartu yang dia dapatkan jelek. Tampil tenang, percaya pasti menang, adalah kuncinya. Tapi toh setelah itu lalu ungkapkan semua kepura-puraan tadi, "uahhh... kartuku jelek!!"

Jauh di dalam hatinya, setiap orang adalah unik. Ia memiliki kemampuan yang unik pula. Ia juga memiliki cara pandang yang unik atas dunia. Ia adalah pribadi yang memiliki nurani yang tak dapat dibandingkan dengan manusia lainnya. Nah, inilah yang dilupakan. Atau setidaknya sering sengaja tidak disadari karena dunia sekitar kita menuntut semacam itu. Di manakah kita menjadi diri sendiri? saat kita mendengarkan hati nurani kita.

Hati nurani beda dengan hasrat loh ya. Mungkin ada unsur hasratnya juga, tapi hasrat yang memang sungguh rasional dan dengan demikian hasrat ini bermoral. Ingat ada politikus yang katanya atau usulnya potong tangan untuk yang korupsi? Lalu ketika dia korupsi dan ditanya tentang potong tangan dia malah menampar si penanya. Lah kan penanyanya ga salah? kok ditampar? itulah sebentuk ketakutan ketika kepura-puraannya terbongkar. Jelas kata-katanya yang anti korupsi adalah sebentuk ketaatan pada asas moral? tapi dia sedang berpura-pura.

Politikus, banyak yang berpura-pura baik, meskipun hatinya sedang menghitung-hitung untung ruginya. Kita sering berpura-pura tersenyum meskipun hati kita sedih dan meratap. Kita sering berpura-pura kuat manakala sesungguhnya kita merasa lemah. Dan topeng yang paling parah adalah ketika kita berpura-pura innosence dengan menunjuk pihak lain yang bertanggung jawab. Seperti kita celaka lalu menyalahkan Tuhan.

Masyarakat yang senantiasa mengkondisikan untuk berpura-pura adalah masyarakat yang munafik. Banyak orang tampil rapi, tampan, dan menarik, meski hatinya sesungguhnya tidak rapi. Bukan berarti berpura-pura itu salah (pretensi), tapi janganlah kita selalu berpura-pura. Karena dengan demikian orang akan tidak mengenali kita? apa yang kita lakukan bukanlah suatu kebahagiaan. Kalaupun kita merasa bahagia, kita merasa bahagia semu. Kita bahkan terasing dengan diri kita sendiri. ita tampil menjadi pribadi yang lain, dan ini nyesek loh ya.... Masih mending main drama dan dinikmati banyak orang. Ya, tapi apakah kita bahagia dengan menjadi badut?

Keterasingan semacam ini, dan biasanya sangat dirasakan ketika segala sesuatunya selesai, tinggal sendirian, lalu timbullah semacam kehampaan. Lihatlah, ada aktor yang selalu main sandiwara, sukses banyak diidolakan orang... lalu berakhir tragis dengan mengkonsumsi narkoba, bahkan ada yang bunuh diri. Anehnya, sudah tahu kondisi semacam itu, masyarakat merasa terheran-heran kok bisa ya.... Ga usah heran kaliii....

Inilah gejala masyarakat dunia di awal abad 21 ini. Setiap orang digiring dan dicetak untuk menjadi tipe pribadi tertentu, yang kerap kali berbeda dengan jati dirinya yang asali. Otak kita digempur dengan iklan dan wejangan moral soal kesucian semu serta kesuksesan material. Semua ini dilakukan, tanpa kepedulian pada panggilan hati kita yang paling sejati sebagai manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun