"Kita memiliki banyak masalah itu bukan karena semata orang jahat banyak, tapi juga karena orang-orang baik yang ada hanya diam dan mendiamkan kejahatan terjadi," kata Anies Baswedan. Lalu dengan alasan ini, diapun menerjunkan diri ke politik.
Kiranya baik kalau kemudian kita juga melihat fakta ini, bahwa banyak koruptor yang dulunya adalah aktivis anti korupsi. Artinya, ketika orang baikpun, kalau berada di lingkungan yang korup, kecenderungan untuk ikut arus sangat besar. Orang yang dulu berteriak untuk memotong jari koruptor, malah tidak berdaya ketika ditanya tentang pendapatnya. Orang yang dulu bisa sesumbar untuk digantung di Monas jika terbukti korupsi, rasanya kemudian juga berfikir panjang. Maka, tak ada jalan yang lebih baik bagi orang baik, kecuali menjauhi ketidakbaikan itu.
Siapapun akan setuju bahwa Habibie adalah orang yang baik. Tapi ketika terjun ke politik, apa jadinya?
Kita melihat bahwa Anies selama ini memang dikenal baik dengan gerakannya yang cukup fenomenal, Indonesia Mengajar. Banyak orang-orang berprestasi yang siap diutus untuk menjadi pendidik di tempat yang sangat terisolir. Dengan demikian, seharusnya hal ini juga menjadi catatan positif baginya.
Bila ungkapan di atas disampaikan dalam kapasitasnya sebagai motivator dan seorang cendekiawan, barangkali ini baik dan patut diapresiasi. Namun, ketika ini diungkapkan dalam kerangka berfikir politis, orang yang sedang mencalonkan diri sebagai presiden dalam konvensi partai demokrat, kita bisa mempertanyakannya ulang.
Lebih lanjut dia memberi contoh, "bayangkan kalau bung hatta mengatakan dirinya ingin hidup nyaman, yang sebenarnya bisa dengan mudah ia dapatkan. Tetapi beliau memilih berjuang, sampai harus berulang kali ditangkap."
tentu contoh ini ada benarnya. Kita lihat bahwa sejak semula panggilan politis Bung Hatta sangat kuat. Tapi, ambisinya bukanlah ambisi kekuasaan. Bung Hatta segera 'pisah ranjang' dengan Bung Karno manakala semakin meruncing perbedaan ideologi di antara mereka dan kemudian sampai matinya pun, Bung Hatta tetap sebagai orang miskin. Lepas dari masalah kenyamanan dan ketidaknyamanan, saya mau menempatkannya dalam sudut pandang deontologi.
Deontologi adalah teori etika Kant. dia mengatakan bahwa perbuatan baik sejauh mengikuti dan menaati kewajibannya yang bisa ia dengarkan melalui suara hati. Masih menurut Kant, perbuatan baik bukan dilihat dari tujuan dan akibatnya, tapi dari niat baiknya dan tentu saja dengan cara-cara yang baik. Dalam etika kewajiban inilah kemudian seorang akademisi sebaiknya tetap berada di jalurnya yang bebas kepentingan kecuali untuk pengembangan ilmu.
Bila kemudian ada sesuatu yang berbeda di masyarakat dengan ilmu yang dia pelajari, dia bisa berteriak dari jalur keilmuannya. Ini jelas tidak nyaman. Bagaimana nyaman, dia ingin mengubah keadaan dengan berada di tempatnya. Tapi, demi menjaga netralitas dunia keilmuan, barangkali ini adalah pilihan yang tepat dan tetap berada dalam ketaatan terhadap suara hatinya. Bagaimanapun juga, politik adalah kepentingan, meskipun sesungguhnya mulia. Sumbangan seorang akademisi adalah netralitasnya, kecuali berpihak pada kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H