Sedih sebenarnya menggunakan kosakata ini. Tapi ya inilah bahasa retorika. Sesadis ndhasmu.
Dalam bahasa saya mungkin saat ini justru kita sedang membayar utang atas eksploitasi berlebihan SDM dan juga SDA kita sekian lama. Artinya apa? Baik sumber daya alam kita maupun sumber daya manusianya pernah dijual murah murah.Â
Semurah apa? saya akan sedikit menggambarkan dari peristiwa masa lalu yang juga melibatkan pemerkosaan sungguhan. Pada tahun 1993, ada sebuah kasus di antara sekian banyak kasus lainnya. Marsinah yang dibunuh pada usia 24 tahun.
Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur. Buruh PT CPS digaji Rp1.700 per bulan. Padahal berdasarkan KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Lalu Marsinah dan kawan kawannya memimpin demo kenaikan gaji.Â
Namun, demonstrasi mereka mengharuskan mereka berhadapan dengan pihak militer sebagai satu satunya pihak yang diperbolehkan memediasi perusahaan dan buruh.Â
Di sana, mereka diintimidasi dengan cap PKI karena cara cara mereka dianggap mirip PKI. Aksi demo dan mogok mereka sempat dikabulkan. Namun kemudian, para demonstran dipanggil aparat dan dipecat. Marsinah marah dan hilang.Â
Pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. berdasarkan visum, wanita pemberani ini mati dengan cara yang kelewat sadis. Baca lebih lanjut di sini
Apa hubungannya? Mari kita lihat fakta lain... upah buruh yang semula 1.700,- per bulan. Naik setelah demo buruh dan dibayar mahal dengan kematian Marsinah, 2.250. Sedangkan harga BBM yang berlaku pada tahun 1991 sampai awal 1993 adalah 550, per liter. Yang kemudian naik di bulan itu juga menjadi 700,- per liter. Baca lengkapnya di sini
Bayangkan betapa murah harga pekerja yang secara UMR hanya seharga tidak lebih dari 5 liter bensin tenaganya. Kelihatannya bensin murah bukan? cuma 550 rupiah? Tapi itu sebenarnya hampir 25% upah pekerja pada waktu itu? Bandingkan dengan harga sekarang?
Ini sekedar menggambarkan betapa eksploitasi pada masa masa itu kelewat sadis. Baik untuk sumber daya manusia maupun untuk sumber daya alamnya.Â
Tak perlu saya uraikan di sini, bagaimana eksploitasi yang jauh lebih besar di luar jawa. Negara hadir justru menjadi bagian dari kesalahan masa lalu yang naif.Â
Saya jadi ingat kata kata Moh. Hatta yang tidak setuju jika Papua masuk Indonesia, dalam sidang BPUPK, dia katakan, "jangan sampai kita lepas dari penjajahan dengan semangat yang sama dengan penjajah ketika menguasai suatu wilayah."Â
Ketika saya tanyakan kepada peserta didik, mengapa Papua masuk Indonesia, jawaban mereka persis yang dikritik Hatta itu, "karena papua adalah tanah yang kaya!!!"Â
Bukankah kalau motivasinya itu, persis yang ditakutkan Hatta kita punya semangat yang sama dengan imperialisme? Para pendiri bangsa waktu itu sepakat Papua masuk Indonesia karena Papua punya kontribusi besar dalam kemerdekaan Indonesia.Â
Papua, terutama Boven Digoel yang menjadi tempat pembuangan para tokoh pergerakan menjadi semacam tempat yang menginspirasi kemerdekaan.Â
Kalau semangatnya semacam itu, seharusnya Papua dan juga wilayah wilayah lain tentunya semestinya mendapatkan porsi lebih dalam pembangunan.Â
Namun alih alih dibangun. Tanah Papua cukup lama malahan dieksploitasi dan dibiarkan miskin masyarakatnya, sementara tanahnya adalah tanah yang kaya.
Sekarang ketika pembangunan sudah dicoba diratakan, masih saja ada yang berkata, "buat apa dibangun Papua itu? kan orangnya sedikit?" Cara pikir macam apa, coba, kalau bukan cara pikir penjajah.
Sekarang, kita seperti harus memulai dari awal. Kita tersandera oleh kebijakan masa lalu yang salah. Maka, pengambilalihan Freeport, blok mahakam, Rokan, dll, semestinya diapresiasi, bukan dinyinyiri agar kita benar benar merdeka di negeri sendiri. Kita membeli ulang apa yang pernah dijual dan penggunaannya tidak jelas, bukan?Â
Kalaupun katakanlah itu memang etok etok, seperti kata Prabowo itu mestinya dijelaskan dan ditunjukkan bagaimana yang tidak etok etok, tanpa harus menunggu jadi presiden atau tidak.Â
Kalau berhasil berkontribusi, yakin deh rakyat akan mempercayai. Yang mesti mereka jelaskan sekarang adalah bagaimana harta kekayaan kita mengalir ke luar negeri.Â
Tidak elok menyalahkan pemerintah sekarang karena apa yang dilakukan pemerintah sekarang memburu harta sampai ke bank bank di luar negeri adalah upaya untuk menyelamatkan uang negara.Â
Yang salah siapa yang disalahkan siapa, dan itu cerdasnya jadi bahan retorika dan menarik. Dan semestinya kalau cerdas beneran dan bermain akal sehat a la rocky Gerung, dalam memburu harta yang lari ke luar negeri mestinya mempercayakannya kepada mereka yang tidak punya kepentingan untuk melindungi uang uang di luar negeri itu.Â
Orangnya jangan yang dulu pernah menjadi bagian dari kebijakan masa lalu yang salah. Atau orang yang apalagi juga punya kasus serupa seperti di Panama atau di Bank-Bank di Swiss.
Untung debat debat kemarin ga dalam dalam amat, coba kalau bisa seperti di ILC. Tentu seru dan mati kutu.
"Uang lari ke luar negeri..." Maka cukup bertanya, uangnya siapa? Sejak Kapan? Bagaimana? sebagai jawaban.
"Lebih baik menggunakan teknologi lama, asal uang tidak mengalir ke luar negeri." Cukup ditanya balik juga, "teknologi apa yang mau dipakai?"
Tapi pointnya begini: bahwa kita seperti mengawali segalanya dari nol. Membayar utang moral atas eksploitasi alam dan manusia setelah sekian lama merdeka menjadi kewajiban yang harus dibayar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H