Suatu ketika, saya menceritakan tentang kasus penyontekan massal di dusun Gadel Sari Barat yang 'dikoordinir' oleh pihak sekolah SDN Gadel II di Surabaya. Akibat kejadian itu, sang ibu yang melaporkan ke Dinas Pendidikan diusir dan dimaki maki oleh warga desa. Wanita ini dianggap tidak memiliki hati nurani. Tentu saja orang yang baik dan benar ini harus merengek rengek kepada warga yang mendemonya dan meminta maaf. Meskipun setelah berita ini tersebar, mau tidak mau pihak sekolah dan juga warga desa berubah arah dan menganggap wanita ini sebagai pahlawan dan bahkan banyak mendapatkan penghargaan atas pendidikan kejujuran yang ditanamkan.
Menarik bahwa salah seorang siswa saya berkata, "lebay...." Saya bisa menangkap maksud ungkapan tersebut. Bahwa, bukankah nyontek ini masalah biasa? bukankah ga perlu mengambil sikap berlebihan dengan melaporkan pihak yang berwajib? bukankah di tempat tempat lain juga banyak kejadian serupa? dll... intinya nyontek itu kan ga merugikan orang lain dan bukan sebuah tindakan jahat. Ya, bisa dibandingkan dengan orang ngelanggar lampu merah lantas dilaporkan polisi. Lebay, bukan?
Yup... saya sering mengatakan mitos moral. Bahwa korupsi kecil kecil itu okelah... ga merugikan orang lain apa salahnya. Ini mitos moral yang kemudian tertanam dalam diri kita dan dibawah kesadaran kita lantas memberikan panduan moral yang semu dan menyesatkan. Saya katakan, sering sering ungkapan tidak merugikan orang lain itu bersifat semu artinya sebenarnya merugikan tapi kita tak sadar atau katakanlah sering sering dampak kerugian itu tidak bersifat langsung. Dan persis inilah kemudian menjadi senjata pembenaran yang pada hemat saya mudah sekali dipatahkan argumentasinya.
Saya bilang begini: kalau ada anak SD, menyontek... itu kecil. Ya karena memang kelas korupsinya segitu! Kalau ada anak SMP nilep uang SPP puluhan ribu itu kecil. Ya korupsi kecil, itu karena kelasnya korupsi anak SMP itu ya segitu. Kalau ada anak kuliah, korupsi nilep uang SKS dari orang tuanya, itu kecil. Karena kelasnya memang segitu juga. Kalau mahasiswa kuliah nyontek itu korupsi ya kelas korupsinya mahasiswa segitu.
Sekarang kalau ada pak RT korupsi 50.000 itu kecil, ya memang kelasnya segitu. Bagi pak RT ini ga merugikan orang lain, karena orang lain itu membutuhkan sesuatu yang nilainya lebih besar. Jadi wajar saja dia keluar ongkos segitu. Sekarang naik sedikit, kalau pak lurah nambahkan nol satu jadi 500.000 itu juga kecil. Lima ratus ribu kelasnya pak lurah itu kecil. Nah, okelah kemudian dinaikkan sedikit ke pak Camat. Menaikkan nolnya juga masih akan dianggap kecil.Â
Dari anggapan anggapan kecil inilah kalau kemudian apa yang sangat besar bagi pak RT, Â bagi pak Gurbernur bisa sangat kecil. Ya, ini tergantung kelasnya, bukan. Makanya, jangan kemudian menganggap bahwa korupsi yang anda lakukan saat ini dengan menyontek itu kecil kecilan. Saya tidak mengatakan berdampak besar, tapi cara pikir kitalah yang kemudian merelatifisir. Ah, relatif... dan persis kata kata relatif itulah yang membuat kita sejak awal mentolerir perilaku korup.
Sepertinya pola pikir semacam itulah yang akhir akhir ini banyak menjadi pegangan para politikus kita dan juga para pejabat kita yang kelewat kritis. Misalnya saja, ketika Jokowi ikut sidak pungli ada yang sudah nyinyir.... itu korupsi kecil kecilan diurusi. Atau ketika KPK nangkap Irman Gusman dianggap itu kelasnya kelas teri. Ngapain diurusi? Tentu saja kita harus terima kasih kepada tokoh tokoh kita yang kritis ini seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang mencoba meluruskan Jokowi. Mungkin mereka akan melihat bahwa ada kasus kasus korupsi besar yang seolah dilupakan. Sejauh saya mengikuti banyak kesempatan untuk mendengarkan presentasi para pejabat KPK ini, kinerja KPK sebenarnya tidak mau atau katakanlah dengan sengaja mau tebang pilih. KPK menyadari benar, atau katakanlah orang orangnya,
 bila orang sudah disangkutkan dengan KPK maka kariernya akan segera tuntas. lalu yang saya ingat juga, dalam penanganan kasus kasus korupsi terlebih berkaitan dengan tangkap tangan, KPK harus hati hati dan jeli. Karena menangani kasus ini seperti mengumpulkan potongan potongan puzzle yang didasarkan pada banyak data yang masuk.
Jadi memang pada hemat saya, benarlah apa yang dikatakan Jokowi.... harus bisa menjadi presiden recehan yang mau hadir ngurusi pungli recehan. Dari yang kecil, diharapkan sampai pada kasus kasus yang besar besar. Jangan dibalik balik. Menuntut yang besar.... lantas pertanyaannya apakah kasus suap yang kecil ke orang seperti Irman Gusman mau dibiarkan saja? biarkan saja toh kecil.... Atau katakanlah, mungkin harapan mereka... yang kecil janganlah dibesarbesarkan.... Ya mungkin, untuk sekelas pak Irman Gusman mungkin uang yang diterimanya kecil.... tapi sekali lagi itu karena kelasnya. Kelasnya ketua DPD ya segitu kecil..... tapi bayangkan kalau semua berfikiran ada korupsi korupsi kecil kecil... maka secara tak sadar kita justru akan membiasakan korupsi sejak dini.
Tentu kita masih ingat dengan  kasus putri bapak Fadli Zon yang minta dijemput di New York... bagi pak Fadli kasus ini kecil ga usah dibesar besarkan toh hanya masalah uang 100 dolar. Tapi kalau dibaca dalam konteks yang lebih luas... dalam perspektif moral yang lebih jernih sedikit saja ternyata yang kecil itu sesungguhnya tidak kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H