Gedung KPK setelah demo HMI. Gambar dari news.liputan6.com
Seorang mantan Ketua Umum PB HMI Syahrul Efendi Dasopang mengatakan, "Sekiranya kritik semacam itu yang melontarkan saya, pasti dianggap biasa. Tapi karena yang melontarkan adalah orang luar HMI seperti Saut Situmorang, reaksi HMI jadi lain. Berarti sebenarnya secara material kritik atau ma qola, tidak ada masalah. Yang jadi masalah bagi mereka yang berang itu adalah subjeknya atau man qola-nya" (rmol.co)
Hal ini berkaitan dengan gerahnya HMI di berbagai tempat atas pernyataan pak Saut Situmorang yang mengkritik banyaknya kader HMI yang terlibat korupsi. Lalu mereka berdemonstrasi, mereka memperkarakan hal tersebut secara hukum. Banyak yang mengatakan, "yang dikatakan pak Saut mungkin benar, tapi tidak semestinya dikatakan oleh beliau..." bukankah kalimat semacam ini sesungguhnya bermasalah?
Demonstrasi, merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh oleh kalangan akademisi untuk menyatakan dukungan maupun penolakan terhadap sesuatu terutama berkaitan dengan jalannya dan juga kebijakan pemerintah. Namun, sebagai kalangan cendekiawan, semestinya tindakan semacam itu didasari oleh kemendalaman berfikir, ketenangan yang reflektif, dan juga tujuan yang rasional. Maka, melihat bagaimana respon HMI terhadap Saut Situmorang atas kritiknya terhadap para alumnus HMI, kita bisa melihat apakah hal itu memang didasarri pada kedalaman berfikir atau reaksi emosional yang dangkal nalar? di sinilah kita bisa melihat, bagaimana cermin kecendekiawanan mereka.
Prof. Dr. B.J. Habibie pada tahun 2013, pernah mengatakan dan mungkin ini semacam usulan untuk HMI sendiri agar HMI tidak terlalu politis. Masih menurutnya, " lebih baik HMI menyiapkan mahasiwa yang bakal menjadi profesional berdasar kan disiplin ilmunya alih-alih mengejar kepentingan politik. Jika mahasiswa profesional di bidangnya, jabatan publik sampai setingkat menteri pun bisa diraih."
Maka, sifat reaksioner dan juga bias kelompok HMI terhadap Saut Situmorang sesungguhnya mendekati sikap politikus atau cendekiawan? Itu yang langsung terbersit ke pikiran saya manakala melihat respon HMI. Kita harus mengakui bahwa HMI sudah banyak mencetak kader-kader pejuang anti korupsi. Bahkan mereka yang telah duduk di pucuk pimpinan KPK. Sebutlah misalnya, Chandra Hamzah, Abraham Samad, Busyro Muqodas, dll. Maka sesungguhnya dan saya yakin bahwa apa yang disampaikan oleh pak Saut bukan pertama-tama serangan terhadap kelompok HMI, tapi ada sebuah sistem yang salah. Bahwa dan bahkan idealisme moral yang kuat di masa muda, bukanlah jaminan dia akan tetap berintegritas ketika menduduki jabatan-jabatan publik.Â
Saya bukan dalam posisi membela pak Saut, tapi menyoal adanya ketidakadilan di dalamnya. Persis apa yang diucapkan oleh mantan ketua  HMI di atas, bahwa seandainya itu adalah orang-orang seperti beliau yang ngomong, itu ga apa-apa. Tapi kalau yang ngomong orang di luar mereka, itu baru menjadi masalah. Kritik terhadap HMI sebenarnya sudah banyak terjadi dalam kaitannya dengan kader-kadernya yang korup. Sebutlah misalnya Syamsir Alam yang merupakan mantan aktivis orde baru, kemudian juga banyak orang-orang internal HMI sendiri. Lalu mengapa baru kemudian pak Saut yang dipersoalkan?
Kemudian saya diingatkan oleh peristiwa pada masa kepemimpinan pak SBY. Waktu itu ada yang mengatakanbahwa penyumbang koruptor di Indonesia itu banyak lulusan dari kampus-kampus negeri. Wah, heboh. padahal dalam arti tertentu ada benarnya juga.
Bukankah kebenaran semacam ini semestinya menjadi bahan refleksi internal sekaligus membuat atau menyegarkan visi misi yang ada di dalam organisasi tersebut? Kalau sudah ada kajian mendalam, refleksi yang mendalam untuk menyangkal atau menolak apa yang diucapkan oleh tokoh-tokoh tertentu, barulah kemudian melakukan demonstrasi dan juga membawanya ke meja hijau sebagai sebuah pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik, mengandaikan bahwa nama kelompok tersebut atau individu memang baik, lalu dicemari dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya. Misalnya presidennya ga korup. Ada yang mengatakan presiden korup, ini pencemaran nama baik. Tapi kalau Ada politisi ingkar janji dan ada yang mempertanyakan politisi kok ingkar janji... ini bukan pencemaran nama baik. Sebutlah misalnya Anas Urbaningrum.
Mungkin ada pertanyaan, mengapa hanya HMI yang disebutkan? Tentu dalam teori komunikasi kita mengenal adanya ujaran sehari-hari dan juga ujaran formal. Ujaran dalam dialog televisi, meskipun dilakukan oleh pejabat publik, tapi bukanlah ujaran formal. Meskipun dalam tata kesopanan dan juga memang dalam kapasitas seorang yang dikaitkan dengan institusi. Dalam hal ini jelas mengandalkan spontanitas daripada ujaran yang runtut sistematis dan resmi. Apalagi lagi, sebelum menyebut HMI, ada kata misalnya. Jadi sebagai pemisalan, hal ini mengandaikan ada lembaga-lembaga lain yang serupa. Anda bisa saja mengejar begini, kok misalnya pak? nah, kata misalnya itu bisa saja benar-bisa saja tidak. Lalu mengapa HMI terlalu reaktif?
Dalam sebuah wawancara di televisi lain, Saut bahkan menyebut bahwa tinggal presiden dan BPK saja yang belum kena urusan dengan KPK. Lalu ditanyakan, adakah TO? ya mungkin ada mungkin juga ga.... dan menarik bahwa kedua lembaga negara itu tidak sereaktif HMI. Maka bisa ditanyakan, ada apa di balik sikap reaktif mereka?