Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cino, Jowo... Kita Indonesia!

1 Februari 2014   12:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katakanlah ini sebuah refleksi imlek. Saya tertarik dengan sebuah fim pendek, dokumenter yang dibuat oleh seorang anak SMA di De Britto Jogja yang judulnya jowo cino debritto. maka, judul ini saya adaptasi dari judul film yang sudah ditayangkan di Youtube tersebut.

di fim tersebut, ada wawancara dengan tema seputar 'nyek-nyek'an (susah saya mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. mungkin dekat dengan kata ejek-ejekan ya. Ada sebagian siswa yang memanggil temannya berdasarkan 'suku'nya. Ada jowo untuk orang Jawa, ada cino untuk orang keturunan tionghoa, ada londo untuk yang keturunan eropa. Dalam pengakuan mereka, mereka amat enjoy dengan nyek-nyekan tersebut. 'nyek-nyek'annya sangat sehat, kata mereka. tujuannya adalah untuk saling mengakrabkan satu dengan yang lain. Ada lagi yang mengatakan ini semacam ada pembeda, ketika ada lebih dari 3 orang yang sama namanya. Lebih dari itu, yang tertanam pada diri mereka bukan masalah nyek-nyekannya, tapi sebuah kebanggaan bahwa mereka bisa belajar di De Britto. Lalu di bagian akhir ada permenungan semacam ini, kalau tujuannya untuk menghina, jelas ini tak bisa diterima. mengapa ada perang suku, mengapa sampai menggunakan kekerasan, mengapa orang sampai saling membunuh (bukan saja warga keturunan Tionghoa), itu karena orang tidak mau menghargai karya ciptaan Tuhan yang memang beraneka ragam. "memangnya kita bisa menolak, kita mau dilahirkan dengan ras apa, ras jawa lah, ras cinalah, atau ras caucasoid?" kata salah seorang siswanya.

Bangunan psikologis semacam apakah yang terbentuk dalam suasana itu? jawabannya dalam hemat saya adalah kebanggaan atas identitas mereka secara komunal yang mengatasi rasa mayoritas dan minoritas. Dalam konteks itu adalah De Britto, sebagai sebuah sekolah kebanggaan. Kalau mau direfleksikan dalam konteks hidup berbangsa di Indonesia, saya rasa identitas kebangsaan inilah yang semestinya sudah selesai dan matang. kelahiran Indonesia oleh para pendiri bangsa (founding fathers and mothers) sangat menyadari hal ini sejak semula. berbagai suku bangsa hadir dalam sidang BPUPKI. jelas, hal ini bukan tanpa latar belakang. Setidaknya, ada 4 orang dari suku keturunan Tionghoa yang hadir. Bersama-sama dengan mereka, hadir juga tokoh-tokoh dari kalangan NU dan Muhammadiyah, ada dari kalangan Indonesia Timur, ada dari cendekiawan didikan Eropa. Lalu mereka membuat sebuah kontrak bersama yang dikenal dengan Pancasila.

Maka, judul ini bisa diperpanjang sebenarnya, Cino, Jowo, Arab, Sunda, Batak, Minang, dll... kita adalah Indonesia. refleksi yang bisa ditanyakan adalah, apakah Indonesia sebagai sebuah bangsa, yang secara formal dan yuridis dikelola oleh para pejabat di pemerintahan, ini sudah bisa membangun rasa kebanggaan untuk mereka semua? Atau jangan-jangan hidup bernegara ini sudah menjadi semacam formalitas yuridis semata dan semakin lama orang tidak lagi bangga (bahkan ada yang malu) menjadi orang Indonesia. Kalau sudah malu sebagai Indonesia, akhirnya orang akan membangun sebuah identitas yang lain yang bisa mereka banggakan.

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun