Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Eksekusi Mati Tak Menambah Wibawa Negara dalam Peradilan yang Korup

5 Maret 2015   22:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:07 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya banyak yang beranggapan bahwa eksekusi mati merupakan upaya terbaik dalam menjaga wibawa dan kedaulatan sebuah bangsa. sekedar pertanyaan pancingan, apakah negara-negara yang menghapus hukuman mati lalu kehilangan kewibawaannya?

Jawabannya ini dalam konsepsi saya, praktek hukuman mati tidak terlalu berpengaruh pada kewibawaan sebuah bangsa di mata internasional. China adalah salah satu negara yang banyak mengeksekusi warganya terutama dalam kasus korupsi. Apakah lalu China dianggap lebih berwibawa dibandingkan Jerman yang menghapus hukuman mati? Saya tidak mengatakan ya atau tidak, tapi sesungguhnya tidak ada korelasi. Berwibawa ada unsur ditakuti, tapi dalam arti disegani. Perampok yang ditakuti bukan perampok yang disegani. Dalam pengertian disegani ada perasaan hormat di dalamnya. Praktek hukuman mati memang membuat orang takut, tapi bukan berarti terus hormat pada kekuasaan.

Dalam kamusnya, berwibawa berarti disegani dan dipatuhi. Menurut Amitai Ezione seorang ahli sosiologi dari Universitas Columbia, ada dua macam kewibawaan yaitu kewibawaan jabatan (position power) dan kewibawaan pribadi (personal power). Bagaimana dengan kewibawaan sebuah negara? pengandaiannya adalah dengan memperlihatkan dua macam kewibawaan tersebut. Indonesia yang berwibawa ke bawah, belum tentu berwibawa secara horisontal dalam kedudukannya dengan negara-negara lain. Pada masa orde baru, presiden Soeharto sepertinya sangat berwibawa. Namun di mata dunia sepertinya Soeharto tidak punya kewibawaan sebagaimana ditampakkan kepada rakyatnya.

Bagaimana dengan sekarang? kedaulatan hukum adalah mutlak. Kedaulatan hukum menjamin kewibawaan bangsa. Tapi pertanyaannya, sudahkah hukum berdaulat sekarang ini? Jawabannya belum. Hukum sudah diperselingkuhkan dengan politik dan ekonomi. Kalau di dalam dunia hukum ada yang namanya hukum dagang, di Indonesia ada dagang hukum. Bahkan mata awam yang bodoh seperti sayapun bisa menangkap bahwa peradilan kita sesungguhnya terkorupsi. Lihatlah misalnya betapa kita melihat negosiasi yang sangat kelihatan dalam kasus BG. Bahkan KPKpun bisa diamputasi kewenangannya.

Lihatlah anggaran siluman yang sedang dipertontonkan. Seorang Turis dari Belanda pernah diperas polisi di Bali dan diapload di youtube. Indonesia ditertawakan, waktu itu. Suap menyuap yang mestinya mulia menjadi suatu kegiatan yang busuk. Dulu yang namanya suap menyuap itu hanya dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya yang disayangi, kepada seorang anak kepada ibunya yang sakit, atau kepada pasangan biar romantis. ak sayang..ak... pinteerrr... hahahaa

Sekarang kata suap mengalami peyorasi. Maknanya memburuk. Dan dalam sistem peradilan yang masih korup semacam ini, jangan harapkan kewibawaan bangsa akan kita dapatkan. Kita tentu saja tidak ingin ada intervensi asing, termasuk PBB dalam menegakkan kedaulatan hukum kita. Tapi sekali lagi, benarkah hukum sudah sungguh-sungguh berdaulat di negeri ini?

Sandera Diplomasi

229 WNI terancam hukuman mati di luar negeri. 131 di antaranya kasus narkoba. Lalu, apa yang harus kita katakan dalam pembelaan terhadap warga negara kita? Secara hukum, membela terpidana bukan pertama-tama membela yang salah, tapi membela seseorang yang bersalah agar diperlakukan sesuai hukum untuk kesalahannya. Bukan untuk membenarkan yang salah, tapi memenuhi hak pembelaannya. Dan sebagai warga negara seseorang berhak mendapatkan pembelaan dari negaranya. Dalam arti inilah saya mengapresiasi negara yang berjuang mati-matian untuk membela warganya. Inilah peran negara.

Ibarat kita punya anak neh, anak kecil ketahuan memukuli anak tetangga kita. Apa yang akan kita lakukan? membiarkan anak tetangga beserta dengan orang tuanya balas memukuli anak kita? Mungkin akan ada yang bilang, "terserah bapak deh, ini kedaulatan rumah bapak, kami tidak berhak intervensi. Anak saya memang salah."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun