Pada jaman dulu, plato memiliki konsep filsafat yang memisahkan antara dunia ide dan dunia wujud. Meskipun memiliki konteks yang jauh berbeda dengan paham yang diwacanakan Plato, etika sekarang juga berada di dua dunia, yaitu di dunia ideal dan dunia nyata. Dunia ideal ada di mimbar-mimbar kelas dan mimbar-mimbar tempat ibadah, sedangkan dunia nyata ada dalam keseharian masyarakat, terutama dalam dunia profesi.
Begitulah nasib Etika. Dia tampak begitu luhur dan mulia di dalam kelas dan di tempat ibadah. Di kelas, tempat orang-orang terpelajar mencoba melihat secara jernih permasalahan etis di sekitar mereka, etika diperbincangkan secara sangat ilmiah, metodologis, dan komprehensif. Baik pengajar maupun pelajar nampak begitu antusias, kritis dan cerdas menganalisa permasalahan dan mungkin secara akademis hasilnya memuaskan.
Namun, sang pengajar sesungguhnya ragu akan apa yang dia ajarkan. Dia tahu bahwa etika hanya ideal di ruang kelas, sementara dia tidak ingin jatuh dalam pragmatisme. Yang terjadi akhirnya hanyalah dagelan filsafat yang skeptis terhadap realitas. Sementara itu, para pelajar jatuh pada pragmatisme. Intelektualisme digadaikan pada tuntutan dan formalitas nilai. Kenyataannya, nilai itulah nanti yang akan menentukan masa depannya, bukan substansinya. Itulah sebabnya, Sartika Dian Nuraini dalam Teroka KOMPAS yang berjudul Risalah Sarjana (16/01), mengatakan bahwa tidak ada tagihan moral secara akademis.
Sementara itu, dualisme juga terjadi dalam hal religiusitas. Adalah sebuah paradoks bahwa negeri yang dikenal religius ini, juga dikenal sebagai negeri terkorup. Bukan tidak mungkin bahwa orang-orang yang korupsi adalah orang-orang yang secara ritual kultis justru baik. Artinya, secara bersamaan, koruptor melakukan tindakan ibadah dan tindakan maksiat. Bila kita amati secara lebih jujur seperti dikatakan Sindhunata dalam tulisannya di KOMPAS (22/01) berjudul Kesurupan, korupsi tidak kalah menajiskan dibandingkan dengan perbuatan zinah. Koruptor itu juga najis, katanya, dan hal ini bisa dijadikan hukuman sosial yang lebih ampuh dibandingkan dengan hukum formal selama ini.
Dalam pembahasan tentang etika politik, Hariyatmoko menunjukkan bahwa hilangnya rasa tidak bersalah karena korupsi ini terjadi karena pelakunya banyak. Dualisme moral semacam ini barangkali juga dirasakan sangat diskriminatif karena hanya menyentuh pejabat-pejabat publik. Sementara masyarakat pada umumnya tidak terlalu menjadi sorotan. Kita ambil contoh seorang ayah yang diduga memperkosa anaknya hingga tewas di jakarta hanya sekedar menyisakan caci maki kegeraman di masyarakat. Tidak ada demonstrasi yang berlebihan untuk belajar dan memperbaiki sistem hukum kita. Bahkan, hal semacam itu hanya menjadi bahan candaan yang dilakukan oleh calon hakim agung. Candaan itu mendapat moment yang pas ketika masyarakat butuh pejabat publik yang bisa dijadikan ‘tumbal’ kegeraman mereka atas kasus perkosaan yang terjadi. Keterlibatan media menjadikan sang calon hakim agung terancam kehilangan kesempatan untuk melanjutkan kariernya.
Moral memang melekat secara agama. Sementara agama cenderung menyoroti hal-hal klasik berkaitan dengan ritual kultis. Meskipun ada sebagian agamawan yang ingin mengajak untuk mengaktualisasikan moral sosial, nyatanya masyarakat awam yang jumlahnya jauh lebih banyak terjebak pada moralitas yang tidak jauh dari ‘syahwat seksual’ semata.
Itulah sebabnya, moral sosial yang dikaji dalam etika-etika profesi hanya indah dan bagus di dalam kajian-kajian akademis para cendekiawan, tetapi miskin implementasi. Di dalam kenyataannya, mereka yang dulu mempelajari etika, ketika bekerja juga dipaksa untuk memilih situasi yang bertentangan dengan apa yang dulu dipelajarinya secara etis. Kalau mereka tetap idealis, mereka tidak akan diberi kesempatan untuk mendapatkan (katakanlah) proyek. Padahal, proyek itulah yang menjadi sumber penghidupan mereka. Itulah sebabnya, lingkaran kebobrokan moral sosial masyarakat selalu terjadi.
Mereka yang merusak alam dengan pembangunan misalnya, adalah orang-orang yang dulu ketika belajar etika mungkin nilainya bagus. Orang-orang yang sekarang terlibat korupsi adalah mereka yang pada jamannya pernah menjadi aktivis muda anti korupsi. Bahkan, yang menarik sekarang adalah tindakan immoral semacam itu justru banyak dilakukan oleh generasi yang relatif muda (angkatan Gayus Tambunan dan M. Nazarudin).
Idealnya: Etika Digali Dari Realitas
Kelemahan Etika sebagai ilmu, seperti diakui oleh Kees Bertens memang hanya mengisi ruang-ruang kognitif (Bertens 2003). Meskipun yang bersifat kognitif itu bisa mendidik suara hati dengan informasi-informasi yang lebih benar secara objektif, namun ini belum memadai. Faktanya, Etika di kampus dan budi pekerti di sekolah yang diajarkan terasa hanya memenuhi tuntutan kurikulum. Bertens memberikan contoh yang cukup menarik, “mahasiswa bisa mendapatkan nilai etika yang bagus dari hasil mencontek”. Sangat mungkin.
Aristoteles mengatakan bahwa keutamaan (arete) tidak didapat melalui pengetahuan, tapi melalui kebiasaan (habitus). Hal ini memang berbeda dengan pemikiran gurunya, Plato, yang berpendapat bahwa pengetahuan bisa menjamin kebaikan seseorang. Pengetahuan seakan berkorelasi langsung dengan tindakan. Marilah kita ingat sejenak salah satu kontroversi yang pernaah dibuat oleh Marzuki Alie bahwa kebanyakan koruptor berasal dari beberapa perguruan tinggi negeri. Kiranya, tanpa harus terbakar emosi, pernyataan itu bisa dijadikan semacam bahan refeleksi bersama. Nyatanya, kesamaan paling besar di antara para koruptor itu adalah tingkat pendidikan. Hampir tidak ada koruptor yang hanya lulusan SMA. Itu bukan karena mereka lebih baik, lebih karena tidak punya kesempatan.
Moralitas akhirnya harus diangkat bukan semata-mata pada taraf kognitif tapi sampai pada habit. Habitus inilah yang akan menjadikan suara hati lebih terdidik. Manusia bisa menjadi lebih peka terhadap suara hatinya. Untuk bisa lebih peka, Hannah Arendt mensyaratkan adanya perjumpaan wajah. Bukan hanya perjumpaan wajah, tapi juga perjumpaan hati dengan empati. Caranya adalah mempertemukan mereka dengan korban, kemudian hidup bersama dan (merasakan) hidup sebagai korban. Dalam ranah etika, kiranya integrasi ilmu dengan realitas sangat diperlukan. Dari metode pembelajaran semacam inilah, analisa kemudian dibuat dan nilai-nilai moral dihabituskan. Agama, sebagai salah satu pilar moral akhirnya harus membangun visi sosial yang bukan hanya indah pada kata-kata dan tulisan serta jatuh pada justifikasi dosa dan tidak dosanya seseorang sebagai oknum, tapi secara konstruktif bersedia meletakkan moralitas sosial pada tempatnya. Semoga, dengan begitu polarisasi etika antara idealisme dan realitas bisa terjembatani. Metode induktif, yang berpangkal dari pengalaman kiranya bisa diterapkan disemua bidang etika; hukum, bisnis, politik, medis, dll.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H