Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Tukang Becak Ber-IPK 3,96... Kok Jadi Istimewa?

13 Juni 2014   19:45 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:53 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bosen tapi ada unsur keharuan juga ketika melihat siaran di televisi ada anak tukang becak yang mendapatkan IPK 3,96. Bosen karena cerita ini diulang-ulang. Terharu karena merasa senasib. bukan pada nilainya, tapi pada nasibnya. anak tukang becak bisa kuliah. Saya anak petani miskin yang tak melek sekolah bisa jadi dosen.

Kalau soal nilai sih, saya kalah jauh. Beneran. Tapi saya ingat seorang teman saya, namanya virdei Eresto. Orangnya cerdas dan cenderung perfectionis. Nilainya juga lebih tinggi dari 3,96. Bapaknya seorang peternak. Dia ini serba bisa. Otak kanan dan kirinya jalan. Seorang pianis handal. Suaranya tenor dan konduktor yang sangat kami banggakan. Sekarang dia juga jadi dosen.

Teman lain, anak seorang buruh cuci, sekelas dengan saya sampai lulus S2. Orangnya tidak sepintar Eresto ini, tapi semangat belajarnya luar biasa. Prestasinya jauh lebih baik daripada saya.

Akhirnya, semoga memberi inspirasi bahwa ketika diberi kesempatan yang sama, prestasi itu, entah bagaimana bentuknya, akan dimiliki oleh anak bangsa ini. Semalam saya melihat-lihat nilai saya sewaktu SMA. Benar-benar itu nilai terburuk. Rata-Rata nilai akhir di bawah 4. Waktu itu masih EBTANAS namanya. Hal yang memprihatinkan, tapi wajar. Saya anak petani miskin. Sekolahnya jauh. Sering tidak bisa masuk sekolah. Sudah beberapa kali mau keluar sekolah menengah atas. wajar bila nilai saya jelek.

Di tempat saya meneruskan pendidikan berikutnya, saya diberi kesempatan yang sama untuk belajar dengan teman-teman yang umumnya sudah pintar dari sekolah-sekolah elite. Akhirnya, meskipun tidak bisa mengejar ketertinggalan dengan mereka, nyatanya toh saya bisa memiliki masa depan. Sekarang menjadi seorang pendidik. Teman-teman saya, banyak yang ketika kecil tidak terfasilitasi untuk belajar.

Jadi, sebenarnya sebelum melihat tayangan di televisi ada anak tukang becak yangber-IPK 3,96, saya merasa bahwa yang semacam itu tidak terlalu istimewa. Baru sekarang saya menyadari, siapapun kalau diberi kesempatan yang sama, bisa mencapai yang terbaik untuk dirinya. Yah... cerita itu menjadi istimewa, mengingatkan saya betapa negeri yang kaya ini sesungguhnya sangat ironis. Semoga saja, Reni si anak tukang becak bisa membuka mata para pejabat kita yang sedang bertarung memperebutkan kursi presiden. Pendidikan bisa diakses oleh siapapun, karena mereka punya hak untuk menemukan tujuan hidup dan penciptaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun