Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fadli Zon Menuduh Litbang Kompas Bayaran Jokowi

23 Juni 2014   17:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:34 2580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik ya politik. Politik adalah seni. Tapi, meskipun seni bukan berarti tanpa menuntut data. Akurasi data sangat berpengaruh. Salah satunya berkaitan dengan survei capres dan cawapres kali ini. Litbang Kompas mempublikasikan hasil surveinya dengan menunjukkan hasil 42,3 % untuk pasangan Jokowi JK dan 35,3 %. Data inilah yang membuat Fadli Zon sebagai wakil ketua umum partai Gerindra menuduh adanya survei-survei bayaran, termasuk Litbang KOMPAS.

[caption id="attachment_312375" align="aligncenter" width="313" caption="gambar dari indonesiarayanews.com"][/caption]

Tuduhan itu ditanggapi oleh pihak KOMPAS sebagai tuduhan yang tidak benar. Menurut KOMPAS, survei dilakukan dengan beaya sendiri dan valid. Sebaliknya, Fadli Zon diminta untuk membuktikan ucapannya. Itulah saatnya politik yang berbasis data. Fadli Zon seharusnya tidak bermain retorika, tetapi juga menggunakan data dan bukti yang konkret. Termasuk ketika melayangkan sebuah tuduhan.

Beberapa bulan yang lalu, saya pernah menulis tentang independensi lembaga-lembaga survei. Kebanyakan lembaga survei memang masih tergantung pada penyandang dana. Hanya dalam etikanya, tidak semua dipublikasikan. Kalau hasilnya menguntungkan pihak penyandang dana, baru dipublikasikan. Sebaliknya, kalau itu tidak menguntungkan, hasil survei bisa menjadi salah satu bahan evaluasi.

Salah satu yang diharapkan dari lembaga yang mampu independen berkaitan dengan survei tentu saja dari pihak akademis. Sayangnya, tidak banyak kampus yang terlibat dalam survei-survei yang diharapkan bisa menjadi kontribusi nyata untuk masyarakat sebagai pencerdasan politik.

Lembaga survei mediapun sekarang memang harus dipertanyakan independensinya. Terutama dari Metrotv dan TV ONE. Keduanya jelas sudah netral sebagai lembaga stasiun yang mengandalkan berita sebagai andalan komoditi tayangan. Demikian juga dengan beberapa media cetak yang pemiliknya adalah pemain politik praktis.

Hal ini agak berbeda dengan KOMPAS. Melihat muatan-muatan KOMPAS, saya secara pribadi sebagai seorang pengajar etika komunikasi, merasa berterima kasih bisa memperoleh contoh media yang objektif. Saya juga memiliki keyakinan bahwa LITBANGnya tidak ikut-ikutan dalam politik yang praktis. Keterlibatannya semata menunjukkan kontribusinya dalam hal pencerdasan masyarakat. Hal ini, tentang pencerdasan politik, pernah menjadi bahan diskusi kuliah kewarganegaraan yang saya ampu dan KOMPAS memang menjadi referensi media yang netral dan mencerdaskan. Meskipun konsumsinya jelas bukan untuk masyarakat kebanyakan. Jadi menurut saya, Fadli Zon salah. Meskipun untuk itu masih harus dibuktikan. Sementara salah karena belum didasarkan pada bukti yang valid. Mungkin beliau punya bukti nota transfer pembayaran.

Fadli Zon membandingkan hasil LITBANG kompas dengan survei-survei internalnya. Saya kira sah-sah saja membandingkan. Tapi ini belum bukti yang kuat untuk membenarkan tuduhannya. Saya sering mengatakan, dalam dunia ilmu, sejauh metodenya benar, apapun hasilnya bisa diterima sebagai kebenaran. Maka, mungkin yang menjadi masalah berkaitan dengan perbedaan hasil itu adalah metodologinya. di sinilah akan semakin menarik bila didiskusikan lebih lanjut.

Debat tidak banyak berpengaruh pada pilihan

Bagaimana dengan debat-debat yang dilakukan oleh Capres dan pasangannya? Dalam hemat saya, debat capres dan cawapres tidak banyak berpengaruh pada pilihan. bagi para pemilih, debat hanya merupakan peneguhan untuk mereka yang sudah punya pilihan sekaligus untuk memperlihatkan kelemahan lawan. Satu peristiwa bisa dibaca berbeda dengan cara pandang yang berbeda. Misalnya, ketika ketika beberapa kali Prabowo menyetujui pendapat Jokowi, akan dibaca atau terbaca secara berbeda oleh kedua kubu. Kubu Jokowi akan mengatakan, "tuh kan Prabowo saja setuju dengan Jokowi..." sedangkan, dari pihak Prabowo akan mengatakan, "itulah bentuk kepemimpinan Prabowo yang bisa mendengarkan aspirasi dari pihak lawan."

Tentu saja tidak bisa mempersalahkan salah satunya. keduanya bisa diterima. Toh masing-masing punya kekuatan dan kelemahan. Jokowi lebih detail sementara Prabowo lebih konseptual dan prinsip. Itulah logika deduktif dan induktif. Keduanya valid sebagai sebuah metode. Maka, untuk para pendukungnya masing-masing, debat tidak banyak memberikan dampak pada mereka yang sudah punya pilihan. Hanya saja akan memberikan sumbangan untuk mereka yang belum menentukan pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun