Mengawali tulisan ini, saya akan mengutipkan sebuah cerita sinis dari seorang pemimpin Gereja Kristen Episkopal dari Amerika tentang betapa naifnya sebuah kepercayaan akan adanya suatu mukjijat:
Allah dipuji ketika kesembuhan terjadi. Sesuatu yang lain disalahkan jika terjadi kematian atau muncul akibat yang tidak diinginkan.
Ini dengan sangat kuat dan dahsyat disingkap kepada begitu banyak penonton televisi abad ini ketika sebuah ledakan terjadi dalam sebuah tambang batu bara di kota Tallmansville, Virginia Barat. Ledakan ini menyebabkan tiga belas pekerja tambang terperangkap di kedalaman kira-kira 80 meter di bawah permukaan tanah dalam sebuah terowongan yang panjangnya lebih dari 3 kilometer. Perhatian bangsa Amerika terpusat pada usaha penyelamatan. Waktu terasa berlarut-larut ketika anggota-anggota keluarga menunggu; mereka tahu setiap menit yang berlalu akan makin memperbesar kemungkinan terbunuhnya orang-orang yang mereka kasihi karena persediaan oksigen yang makin menipis.
Tak dapat dipercaya, sebuah laporan tiba bahwa dua belas dari pekerja tambang yang terperangkap didapati masih hidup dan hanya satu yang telah meninggal. Perayaan yang penuh luapan kegembiraan kegembiraan pun diadakan di Gereja Babtis Sago, di mana orang telah berhimpun. Begitu juga retorika keagamaan tak terbendung. Gurbernur Virginia Barat, Joe Manchin, menyatakan hal ini sebagai sebuah keajaiban dan menasehati orang untuk sejak sekarang percaya pada keajaiban.
Tak pelak lagi, orang jadi bertanya-tanya bagaimana Allah yang membuat mukjijat ini menyingkirkan satu orang yang kedapatan telah mati itu, karena jelas tidak tertolong. Mungkin si korban ini tidak memenuhi syarat untuk menerima pertolongan illahi. Mungkin ia dengan satu dan lain cara telah dinyatakan tidak layak. Mungkin sudah waktunya ia mati dalam suatu dunia yang telah ditentukan sebelumnya tanpa sepengetahuannya.
Kamera-kamera televisi mewawancarai kekasih-kekasih mereka yang nyaris mengaitkan penyelamatan itu pada campur tangan Tuhan. “Terima kasih Allah!”, “terima kasih, Yesus!”, “puji Allah!” adalah kata-kata yang terus menerus diucapkan.
Akan tetapi, kira-kira dua jam kemudian, muncul sebuah pengumuman lain. Kali ini pengumuman resmi yang menakutkan yang menyatakan bahwa laporan sebelumnya tidak benar. Hanya satu dari pekerja tambang dibawa dalam keadaan hidup. Dia tidak sadarkan diri, ada dalam kondisi kritis, dan dinyatakan kemungkinan mengalami kerusakan otak yang serius. Dua belas orang lainnya telah mati. Tiba-tiba saja omongan mengenai mukjijat dan Allah lenyap. Pujian-pujian yang ditujukan kepada Yesus berhenti dan diganti oleh ungkapan-ungkapan kemarahan dan kedukaan, dibarengi dengan percakapan untuk mengajukan tuntutan hukum.
[caption id="attachment_330452" align="aligncenter" width="183" caption="Pendeta John Spong, gambar dari www.independent.com"][/caption]
_________________________________________
Berikutnya saya akan menceritakan pengalaman saya ketika diberi kesempatan untuk menjadi perawat di sebuah rumah sakit Kristen yang cukup besar di Yogyakarta. Waktu itu ada seorang evangelist yang menunggui istrinya yang akan diangkat rahimnya karena ada kanker di dalam rahimnya. Tapi, sampai menjelang sang istri di operasi, suaminya sangat keberatan dan mencaci maki para dokter. Dokter mengatakan bahwa kondisi sang istri makin kritis.
“kalian ini para dokter tidak beriman… tidak percaya pada mukjijat… dengarlah firman Tuhan dalam kitab Amsal.. kegembiraan adalah obat yang manjur!”
Waktu itu karena sang istri bersedia untuk dioperasi, jadilah kemudian saya mengantarkan sang istri dengan kereta dorong sampai ke pintu operasi. Para dokter, sebagai bentuk penghormatan pada penginjil ini membebaskan beaya perawatan mereka. Saya salut dengan dokter-dokter ini. Meskipun dicaci dan dianggap tidak beriman, tapi tetap saja mengobati pasien dengan sebaik-baiknya. Kemudian saya kembali ke ruang di mana evangelis tadi berada bersama dengan pasien lain. Waktu itu saya punya panggilan sayang yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Tapi, sebut saja waktu itu evangelis ini memanggil saya ‘mas’.
“Mas… bukankah firman Tuhan selalu benar?” katanya.
Saya mengangguk. “harusnya… obat yang diberikan adalah penghiburan dan doa. Kenapa rahimnya harus diangkat? Bukankah mukjijat selalu ada?”
Dengan sedikit berempati saya hanya mengangguk-angguk mencoba untuk memahami, meski sebenarnya mengatakan tak setuju. Lalu saya bertanya, “kenapa, pak?”
“Begini mas… kami belum lama menikah. Tapi kalau kemudian rahimnya diangkat, belum memiliki anak, bagaimana mungkin kami bisa bahagia? Mas mungkin tidak akan merasakan kebutuhan suami istri. Tapi, dengan diangkatnya rahim itu saya takut tidak bisa berhubungan suami istri dengan baik dan menikmatinya?”
Kurang lebih itu yang dia ungkapkan. Di bagian terakhir curhatnya ini saya kemudian bertanya, “bapak percaya mukjijat?”
Beliau mengangguk canggung. “meskipun rahim istri bapak diangkat, mukjijat untuk dapat merasakan kebahagiaan itu tetap akan ada. Mungkin bagaimana kita menyikapinya dan terbuka pada mukjijat itu…”
Sepulang dari rumah sakit, saya menuliskan bahwa mukjijat lebih merupakan pengharapan. Pengharapan memberikan kekuatan dan keyakinan. Tapi, bagi saya kejujuran bapak itulah yang sebenarnya. Mukjijat yang dia percayai di awal adalah sebentuk pelarian dan ungkapan ketakutan.
_____________________
Jadi, mukjijat sebenarnya ada atau tidak? Ya antara ada dan tiada. Saya tidak percaya ketika ada kesaksian-kesaksian yang magis, para dokter terheran-heran dengan menghilangnya suatu penyakit dari tubuh seseorang. Ada orang menderita kanker, dokter memvonisnya kanker ganas. Tapi setelah didoakan, kanker itu hilang tanpa bekas. Dokter ikut diajak membuat kesaksian.
Saya baru percaya kalau dokter mau membuat riset ilmiah atas kanker yang secara ajaib hilang itu karena doa. Di tempat lain, ada orang yang sakit-sakitan di perutnya. Setelah didoakan, muncullah paku,pecahan kaca, dll. Lalu pendoa itu mengatakan, “ini dia bu… ibu kena santet!” Prinsipnya sama, mesti ada penjelasannya yang masuk akal.
Saya sendiri percaya pada mukjijat. Mukjijat adalah sesuatu yang paling tidak untuk saat ini, belum bisa dipahami dalam nalar publik. Masalahnya, mukjijat seperti apa yang saya percayai?
Saya percaya mukjijat itu ada dalam diri orang yang tidak mendendam meski dia disakiti, orang yang punya kemampuan untuk merawat orang sakit meskipun tidak dibayar. Misalnya saja ibu Teressa. Bagi saya ini sudah mukjijat. Masih ada orang yang rela meninggalkan negeri asalnya, tidak menikah, dan melayani orang yang dibuang oleh masyarakat.
Mukjijat itu ada dalam diri saya juga. Ada dalam kesehatan saya, ada dalam hidup saya, ada dalam pemikiran saya, ada dalam cara hidup saya. Sederhana saja, ketika tiba-tiba saya bisa mengatakan sesuatu yang bagus, padahal tidak terpikirkan sebelumnya, nah bagi saya itu sudah mukjijat. Kalau saya sakit dan diberi kekuatan untuk tetap bisa memaknai sakit secara positif dan tidak mengeluh, nah… bagi saya itu mukjijat. Bahwa saya tetap beriman di tengah masyarakat yang krisis iman, ini juga mukjijat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H