Mohon tunggu...
Vicky Hasibuan
Vicky Hasibuan Mohon Tunggu... Buruh - Peneliti

Fan ekonomi pasar tapi suka dengan jaminan sosial dari sistem sosial-demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola dalam Pusara Ekonomi Pasar

3 Maret 2018   15:54 Diperbarui: 3 Maret 2018   16:04 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bintang dunia asal Portugal, Eusebio | kompas.com

Sepak bola sebagaiman kita ketahui tentu adalah olahraga paling terkenal dan paling luas yang dilakukan oleh manusia. Tak perlu jauh-jauh bagaimana Piala Dunia sendiri adalah even paling banyak dilihat sedunia sebagaimana dalam situs resminya FIFA saja yaitu FIFA.com saja angka penonton piala dunia 2014 di Brazil saja mencapai 3,2 miliyar! Sebuah angka fantastis mengingat jumlah penduduk bumi yang mencapai 8 miliyar yang mana jika dibandingkan maka ada kurang lebih 40% persen penduduk dunia yang menonton even 4 tahunan tersebut.

Dimana ada manusia disitu ada sebuah peluang ekonomi maka tak heran piala dunia 2014 saja berhasil menyentuh angka 15 Miliyar dollar! Sebuah angka fantastis dari sebuah even yang diseleranggakan hanya sebulan. Trickle down effect yang hadir di Piala Dunia dari pandangan ekonomi bukan tanpa alasan. Jumlah uang tersebut lahir dari sponsor, hak siar hingga pembangunan infrastrktur dan investasi linta negara yang datang karena even tersebut tentu akan mendatangkan jutaan turis yang tak hanya butuh tontonan sepak bola namun hingga konsumsi makanan, alkohol hingga kebutuhan seksual di negara tuan rumah, tak pelak Brazil kemarin sangat semangat dalam menyambut even tersebut.

Namun berbeda dari angka uang yang akan masuk yang tentu menggiurkan dimana rakyat Braziol justru gencar menolak penyelenggaraan even tahuan tersebut karena berbagai alasan dari mulai penggusuran, potongan subisii sosial hingga pembangunan infrasturktur penunjang piala dunia yang cenderung dianggap mubazir dan lebih tepat seandainya digunakan untuk subsidi kesehatan dan pendidikan, bahkan pemain sekelas Socrates sebelum wafat pun ikut dalam barisan yang menolak piala dunia ada di Brazil.

Lantas dengan segala jumlah besar dana yang masuk dan menggiurkan para pemodal lantas kenapa sepak bola menimbulkan pusara bersama ekonomi pasar? Sepak Bola kehilangan marwahnya mungkin itulah kata yang tepat menggambarkannya kalau anda mau lebih paham coba tanyakan fans Arsenal yang tiap tahun tiket terusannya mengalami peningkatan namun tidak pernah ada hal lain yang masuk selain uang! 

Sepak bola seperti kehilangan apa yang dseibut sebagai olahraga segala manusia, tontonan yang laku ini tak pelak hanya sekedar olahraga tempat para pejudi bertaruh jutaan uang dan para CEO ternama menanamkan modalnya segala hal yang membuatnya indah seperti bagaimana sepak bola dijadikan alat bagi Zvonir Boban mendukung kemerdekaan Kroasia atau sebagai sarana para ultras Boca Juniors sebagai wahana perang atas kaum borjuis Argentina telah hilang! Atau dengan kata lain ada upaya ahistoris dari pihak yang menginkan sepak bola menjadi mesin uang mereka.

Muhadi Sugiono sendiri dalam bukunya kritik Antonio Gramsci terhadap pembangunan dunia ketiga mengambarkan bagaimana ekonomi pasar membutuhkan sarat-sarat tertentu untuk menjalankan sistemnya dimana dengan kata lain hal-hal yang membuat ekonomi pasar terkendala dalam hal kelangsunganya haruslah ditumpas sehingga tak ayal banyak negara yang membuat kebijakan publiknya cenderung ahistoris dan positivistik. Idem dengan sepak bola maka sistem ekonomi pasar yang masuk pun dalam ranah sepak bola harus menyingkirkan segala penghalang dalam berlangsungnya sistem sepak bola di dalam ekonomi pasar, coba lihat bagaimana kebijakan FIFA yang mendepolitisasi para pesepakbola sendiri bahkan hingga tribun penonton.

Sanksi Pep karena memakai pita kuning dalam setiap matchManchester City akhir-akhir ini menjadi bukti bagaimana FA dalam hal ini organisasi sepak bola Inggris yang tergabung dalam FIFA tampak memilih mengatakan bahwa sepak bola haruslah netral. Netral tanpa alasan? Max Horkheimer dalam teori kritiknya tentu memberi dasar bahwa tidak ada hal di dunia yang bebas nilai maka kecenderungan FIFA atau FA yang mendepolitisasi sepakbola adalah salah satu ranah bagaimana FIFA dan FA memilih untuk berpihak kepada pasar apapun yang terjadi dengan mengasingkan sepak bola dari realitas manusia yang ada.

Padahal sepak bola adalah olahraga manusia yang tak lepas dari ekspresi manusia itu sendiri, bahkan sejarah klub favorit anda juga kental akan aroma perlawan kelas, lihat bagaimana Manchester United dan Manchester City, Juventus dan Torino juga Inter Milan dan AC milan. Kalau begini apakah sepele saja? Wacana depolitisasi hanya segelintir dampak sepak bola dalam pusara ekonomi pasar saja. Hak penonton yang dibatasi dalam kebijakan klub dengan kebijakan klub sepak bola yang harus beradaptasi dengan pasar menjadi contoh bagaimana fans Wigan tumpah ruah ke lapangan saat menang dari Manchester City sebagai wujud bahwa fans yang merupakan nyawa dari sebuah klub telah ditinggal dengan mekanisme yang membuat mau tidak mau sebuah klub harus berinvestasi secepatnya kalau tidak mau kalah, acuan jumlah hadiah dan hak siar yang didapat klub peserta Liga Inggris menjadi acuan bagaimana Inggris yang progresif saja harus tunduk dalam sistem ekonomi pasar.

Tidak adanya batasan soal jual beli pemain berbeda dengan sistem NFL American Footbal juga menjadi buah simalakama klub yang terkadang gila-gilaan dalam mebeli pemain tanpa menghitung lagi dampak ekonominya sehingga dampaknya? Pusara ini membawa kebangkrutan bagi ekonomi klub tak ayal nama-nama seperti Napoli, Parma hingga Leeds United adalah nama klub yang berjudi pada pemain mahal demi peringkat yang mendatangkan hak siar yang tentu membawa jutaan pounds dan lira bagi kas klub. Berhenti disana? Wahana ekonomi pasar dalam sepak bola juga membawa dampak akan matinya alur regenerasi klub karena tuntutan prestasi instan yang membuat para klub tak sadar dengan akan adanya tuntutan regenerasi pemain, hasil nyatanya? Anda bisa lihat bagaimana Liga Inggris dan Liga italia mengalami krisis pemain muda atau bagaimana Indonesia yang sempat mengalami krisis pemain bola muda di era 2005-2010an.

Ekonomi pasar memang menggiurkan namun jika Nietzche katakan dalam karyanya selalu ada nomena dibalik fenomena yang ada maka sudah selaykanya fans sepak bola sejati tentu tak hanya berhenti sekedar menonton sajian tersebut di layar kaca atau berjudi di layanan judi online namun mulai bergerak karena sepak bola yang sekarang telah terasing dari marwahnya sebagai olahraga semua umat. Hal porogresif dilakukan ST.Pauli dan beberapa klub Jerman yang menyediakan slot khusus dalam jajaran kepemilikan klub kepada para Ultras sehingga para Ultras bisa menentukan kebijkan klub bukan sekedar menentukan koreo di tribun dan menerima begitu saja kebijakan klub yang dirasa merugikan para ultras.

Yang paling militan tentu bagaimana Ultras Livorno yang mengakatakan "persetan" dengan depolitisasi sepak bola dengan tetap menyanyikan lagu Las Barricadas, Internasionale setiap bertemu SS Lazio tak peduli meskipun hanya di ranah Coppa Italia karena bagi mereka hanya sepak bola lah wahana mereka berperang melawan Fasisme dan mengungkapkan keterasingan mereka dari masyarakat dengan identitas kelas pekerjanya. Pusara ekonomi pasar memang tak selamanya buruk namun bagaimanapun sepak bola adalah olahraga rakyat yang bukan hanya membahas soal uang sehingga tak peduli lagi dengan nilai estetika dan sejarah yang ada serta mengecilkan makna supporter di dalamnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun