Di era digital yang semakin terhubung secara global, fenomena westernisasi di Indonesia mengalami transformasi yang lebih kompleks. Melalui platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, penetrasi budaya Barat tidak hanya mempengaruhi gaya hidup, tetapi juga mengubah cara pandang dan identitas generasi muda Indonesia terhadap nilai-nilai nasionalisme.Â
Salah satu indikator nyata adalah tren "Korean Wave" dan "American Pop Culture" yang mendominasi preferensi anak muda. Mereka lebih fasih menyanyikan lagu K-pop atau mengikuti serial Netflix terbaru dibandingkan mengenal lagu daerah atau mengapresiasi film lokal. Fenomena ini diperkuat dengan algoritma media sosial yang terus menyajikan konten viral dari negara-negara Barat, membuat exposure terhadap konten lokal semakin terbatas.
Dalam aspek bahasa, penggunaan "bahasa gaul" yang bercampur dengan istilah asing, terutama dalam komunikasi di media sosial, telah menjadi kebiasaan. Frasa seperti "literally", "actually", "which is", dan berbagai slang bahasa Inggris lainnya sering diselipkan dalam percakapan sehari-hari, bahkan dalam situasi formal. Hal ini menunjukkan bagaimana identitas linguistik lokal perlahan terkikis akibat penggunaan bahasa luar yang berlebihan saat berkomunikasi dengan orang lain.
Pola konsumsinya sendiri juga berubah drastis. Generasi muda lebih memilih nongkrong di coffee shop bermerek internasional atau mall modern dibandingkan mengunjungi warung kopi lokal atau pasar tradisional. Mereka rela menghabiskan uang lebih banyak untuk produk fashion branded ketimbang mendukung produk lokal yang kualitasnya tidak kalah bagus. Faktor tersebut biasanya dikarenakan lingkungan pertemanan maupun gengsi karena belum pernah merasakannya.
Media sosial seperti TikTok dan Instagram telah menciptakan "echo chamber" dimana konten western lifestyle terus-menerus dipromosikan sebagai standar kesuksesan dan modernitas. Akibatnya, banyak anak muda yang merasa inferior jika tidak mengikuti tren global tersebut. Fenomena "FOMO"Â (Fear of Missing Out) mendorong mereka untuk terus mengadopsi gaya hidup barat tanpa filter.
Dalam konteks pendidikan, banyak orang tua yang lebih bangga menyekolahkan anak ke sekolah internasional atau mengirim mereka kuliah ke luar negeri. Meski hal ini positif untuk pengembangan wawasan global, seringkali tidak diimbangi dengan pemahaman mendalam tentang sejarah dan budaya Indonesia.
Platform digital sebenarnya bisa menjadi wadah untuk mempromosikan konten kreatif berbasis budaya Indonesia. Beberapa content creator lokal telah membuktikan bahwa konten edukatif tentang sejarah dan budaya Indonesia bisa dikemas secara menarik dan viral. Namun, jumlahnya masih terlalu sedikit dibandingkan dengan banjirnya konten western lifestyle.
Pemerintah perlu mengambil langkah strategis dengan memanfaatkan teknologi digital untuk kampanye nasionalisme. Program seperti digitalisasi museum, virtual tour situs bersejarah, atau pengembangan game edukasi berbasis budaya lokal bisa menjadi alternatif untuk menarik minat generasi digital native.
Peran aktif influencer dan public figure dalam mempromosikan produk lokal dan nilai-nilai nasionalisme juga sangat penting. Ketika mereka menunjukkan kebanggaan menggunakan batik, mengunjungi destinasi wisata dalam negeri, atau mendukung UMKM lokal, hal ini bisa menciptakan tren positif di kalangan pengikut mereka.
Yang terpenting adalah menciptakan narasi bahwa menjadi modern dan global tidak berarti harus meninggalkan identitas nasional. Indonesia dengan keberagaman budayanya justru bisa menjadi keunggulan kompetitif di era global. Generasi muda perlu memahami bahwa nasionalisme di era digital bukan berarti menolak kemajuan, tetapi mampu bersaing di kancah internasional dengan tetap membawa nilai-nilai nasionalisme untuk Indonesia yang lebih baik.