Aku mulai kembali kegirangan saat dia bilang jika ada waktu mari bertemu. Setelah menentukan hari untuk bertemu, dalam perjalanan yang cukup melelahkan untuk mendatanginya, tiba-tiba di tengah perjalanan dia membatalkannya. Aku menangis, aku benar-benar menangis, dia tak menganggap waktu yang ku luangkan ini begitu penting. Aku tak mendebatnya, benar-benar tak ada lagi penjelasan atas semua yang terjadi. Dia menghilang sejak saat itu, benar-benar sudah menghilang. Aku menangisinya dalam waktu yang cukup lama dan terus mengingat semua kisah singkat yang pernah dia suguhkan.
Pada malam panjang, ketika aku masih terus saja berselimut ratapan, terhujam akan semua kenangan indah, dia datang, memberi penjelasan. Alasan yang sangat tak masuk akal, dia bilang "Aku tak bisa keimanan ku di interupsi". Tak habis fikir aku, ku selesaikan saja percakapan itu dan berusaha menerima alasan buruk ini.
Ternyata dunia mempersulit orang dewasa untuk berpegang pada keinginan mereka. Realitas menciptakan jarak antara aku dan dia. Aku menyalahkannya, aku benar-benar menyalahkannya pada awal terjadi. Sampai kesadaran ku kembali, aku tak menyalahkan siapapun lagi, terima saja apa adanya, menyalahkannya pun tak akan membuat ku merasa lebih baik. Pada akhirnya kita harus memutuskan, mau menanam bunga atau ratapan tangis. Ya, kita boleh berhitung soal apapun, tapi tidak dengan takdir. Bagiku, dunia hanyalah salah satu bentuk kemungkinan matematika yang tidak terbatas.
Sekarang, seluruh kehidupan ku ada dalam genggaman ku, jadi tidak ada seorangpun yang boleh menghancurkan ataupun merubah rentetannya.......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H