[untuk Mamaku di Hari Ibu, 22 Desember]
Mama, doa-doamu telah memeliharaku dengan baik. Mama seperti sarung yang terus membungkus aku dari sengatan duniawi. Air matamu yang dulu jatuh karena berpeluh dalam kesesakan hidup, sudah berbuah manis. Keringat dan tetesan darah yang saat mama melahirkan aku, sudah kokoh dan menghasilkan banyak buah. Buah itu sudah sering kita makan bersama sampai kenyang. Jerih lelah mama, sudah aku perbaiki dengan kerja sebagai pendidik. Itu yang selalu mama batinkan dalam doa-doa. Tuhan sudah kabulkan.
Mama, sarung yang dulunya dipakai buat menggendongku, masih tersimpan rapi dalam memori. Ingatan-ingatan kita akan masa silam yang pelik, selalu kita jaga dalam doa seperti nenek moyang kita pernah berpesan di meja makan. Banyak petuah yang disematkan pada kita, sering mama ingatkan kami anak-anak untuk tidak berpuas diri.
Mama, pelukan kita semakin kuat dan erat karena sarung yang dipakai mama sangat berkhasiat. Juga mengandung nilai historis dalam ziarah petualangan kita mencari sebiji keberuntungan untuk dinanak jadi nasi, yang kita makan dialasi seutas doa tulus hasil eraman selama ini.
Tuhan, panjangkan umur mamaku. Sehatkan jiwa raganya. Limpahkan berkat dan rejeki seperti banyaknya pasir di laut. Supaya mamaku tetap jadi mutiara dengan sarung yang biasa dipakai mama dalam menggendong kami.*
Jakarta, 23 Desember 2024.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H