Melihat perkembangan teknologi dan persaingan antar perusahaan-perusahaan IT di berbagai Negara, membuat saya miris kalo membandingkannya dengan Indonesia. Kita ambil contoh perusahaan-perusahaan besar seperti Samsung dan LG dari Korea Selatan, HTC (High Tech Computer)dari Taiwan, Sony dari jepang, ZTE (Zhong Xing Telecommunication) dan Lenovo dari China, Blackberry dari Kanada, Nokia dari Finlandia, maupun Apple dari Amerika Serikat.
Perusahaan-perusahaan tersebut saling beradu produk. Baik produk smartphone, phablet maupun tablet. Seakan persaingan antar merk pun setiap detik bisa berubah, seperti yang telah terjadi oleh ponsel Nokia yang dulu di tahun 1990-2000an pernah jaya dengan OS symbian nya sekarang pun harus gulung tikar dan telah di akuisisi oleh Microsoft. Pun begitu juga dengan nasib Motorola yang tak bisa mempertahankan perusahaannya dan harus rela dikuasai oleh Google.
Belum lagi perkembangan di sektor social media, ada Facebook yang dulunya hanya sebuah situs eksklusif yang dikhususkan untuk anak-anak kampus Harvard saja, sekarang telah menjelma menjadi perusahaan besar dan sumber bisnis. ada juga twitter yang kabarnya juga akan go public dalam waktu dekat,lalu aplikasi Line dari jepang yang diluncurkan pada 23 Juni 2011 dan terhitung pada 2 Mei 2013, penggunanya menembus angka 150 juta. WhatsApp dari California, WeChat dari China, BBM aplikasi milik Blackberry dan masih banyak lagi aplikasi-aplikasi dan situs jejaring yang saling ber-adu fitur.
Namun yang kali ini ingin saya tanggapi bukan terlalu jauh ke masalah perkembangan IT nya tetapi lebih ke bagaimana perbedaan antara mindset orang-orang Indonesia dengan orang-orang di Negara Maju pada umumnya. Lalu bagaimana sebenarnya mindset orang Indonesia?
Sama-sama beradu tetapi kalo di Indonesia bukan beradu kecanggihan IT tapi masih saling beradu argument dan saling membenarkan argument masing-masing.
Beberapa waktu lalu mantan ketua MPR Amien Rais membuat statemen yang sempat membuat meradang para pendukung Jokowi. Amien Rais mengomentari isu pencalonan Gubernur Jakarta, Jokowi, sebagai presiden tahun 2014. Ia berharap masyarakat tidak memilih presiden berdasarkan popularitas. Amien Rais menyamakan Jokowi dengan mantan Presiden FIlipina Joseph Estrada. Menurut Amien, Estrada dipilih karena popularitasnya dalam memerankan tokoh di film, namun saat menjabat sebagai presiden, Estrada tidak mampu menjalankannya.
Tak bisa di pungkiri Jokowi itu memang popular. Tapi kepopulerannya itu bukan-karena-pencitraan. kenapa saya berani bilang bukan-karena-pencitraan?Karena memang ada buktinya. Pertama, Jokowi mampu mengatasi kisruh KJS. Kedua, mampu memindahkan warga bantaran waduk pluit. Tiga, menyelesaikan kontrak MoU MRT dan Monorail. Empat, memulai pengerjaan proyek 28 kampung deret (http://www.tempo.co/read/news/2013/09/15/083513512/Jokowi-Pastikan-28-Proyek-Kampung-Deret-Dimulai ). kelima,memulai proses normalisasi ciliwung. Enam, mendesak DPRD untuk menyetujui pengajuan mendatangkan 1000 bus Transjakarta. Tujuh, membuat Kaki Lima Night Market di Jalan Medan Merdeka Selatan. Delapan, Jokowi mulai bangun rusun di Jakarta Timur. Sembilan, memindahkan PKL tanah abang. Dan yang baru-baru ini memindahkan warga waduk ria-rio dan memulai pembenahan dan pengerukan waduk ria-rio. Dan mungkin masih banyak lagi kerja yang lainnya. (bisa di googling sendiri).
Kalo memang cuma pencitraan semata tidak mungkin Jokowi bisa merampungkan masalah demi masalah tersebut. itulah yang mau saya sorot, ketika pemimpin melakukan hal yang benar di Indonesia ini masih banyak sekali yang menjegal, seakan tak rela melihat kesuksesan yang diraih lawannya. mengkritik boleh-boleh saja asalkan sesuai dengan faktanya/kinerjanya, jangan cuma karena tidak suka dengan subyeknya. Apakah tidak seharusnya kita mendukung saja ketika ada pemimpin yang benar-benar berupaya baik? Mau sampai kapan kita bergulat dengan diri kita sendiri?
Kapan Indonesia ini bisa menjadi Negara Maju yang mulai berfikir untuk membuat perusahaan IT besar dan saling bersaing produk dengan Negara lain jika mindset kita seperti ini?
Bagaimana menurut Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H