Mohon tunggu...
Rico Hermawan
Rico Hermawan Mohon Tunggu... -

Pencinta sejarah dan sepak bola

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Zaken Kabinet dan Koordinasi Antar Kementerian

22 Oktober 2014   08:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:09 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dengan latar belakang pengalaman politik yang bisa dibilang mentereng, rakyat memiliki harapan begitu besar terhadap pemerintahan baru Jokowi. Survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengindikasikan hal tersebut dimana 71 persen publik yakin bahwa pasangan baru ini akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik (KOMPAS, 28 Agustus 2014). Harapan ini setidaknya mulai dirintis sejak Jokowi menggodok siapa saja orang-orang yang akan masuk ke dalam kabinetnya nanti.

Kegalauan muncul ketika Koalisi Merah Putih (KMP) pengusung Prabowo-Hatta, menang telak atas koalisi pendukung Jokowi-JK di tingkat parlemen. Akan sangat mungkin terjadi penjegalan-penjegalan terhadap kebijakan pemerintah di ranah parlemen. Oleh karena itu, salah satu jalan yang bisa diambil Jokowi untuk tetap mengapungkan harapan publik tadi adalah dengan membentuk pemerintahan yang populis. Keputusan memberikan porsi lebih banyak kepada kalangan profesional-ahli non parpol di kabinet bisa jadi merupakan pilihan yang terbilang bijak.

Akan tetapi, masalah bisa saja muncul jika orang-orang pilihan Jokowi dari kalangan profesional non-partai justru tidak memiliki integritas di pemerintahan. Padahal, bagi orang awam kabinet ahli atau dikenal dengan istilah Zaken Cabinet, dimaknai sebagai kabinet yang diisi oleh para akademisi, teknokrat yang menguasai pengetahuan, kepakaran dan keterampilan. Hal ini tak bisa dilepaskan dari keyakinan yang penuh bahwa dengan kemampuan dan pengetahuan mereka akan mampu menyelesaikan permasalahan dan menyejahterakan masyarakat.

Posisi kecendikiawanan sejatinya bukanlah garansi bahwa mereka tidak memiliki motif politik dan berkuasa, justru saling bersentuhan. Menurut Indonesianis, Harry J. Benda (1965) dalam tulisannya mengenai elit politik di negara-negara Asia Tenggara, faktor historis telah menempatkan para cerdik pandai di region ini pada status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Sedangkan, dalam pandangan Geertzian, kelompok ini dimasukkan ke dalam golongan aristokrat (priyayi). Dengan demikian, kekuasaan merupakan determinan penting dalam perjalanan eksistensi sosial dan moral para kaum intelektual. Tidak ada cendekiawan yang tidak berpolitik.

Terlepas dari pendikotomian kabinet ahli ataupun parpol, yang terpenting saat ini bagi Jokowi adalah bagaimana memaksimalkan peran pemerintahannya untuk lima tahun ke depan. Jokowi mesti mampu memecahkan masalah-masalah lama yang selama ini sering jalannya kebijakan, terutama persoalan membangun koordinasi dan kerja sama antar kementerian yang selama ini masih begitu lemah.

Belajar dari Mafia Berkeley

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu keberhasilan pemerintahan orde baru memulihkan keadaan negara pasca “karamnya” kapal bernama Indonesia yang dipimpin Sukarno adalah keputusannya menempatkan para intelektual-akademisi pada pos-pos kementerian, terutama bidang ekonomi. Soeharto membentuk sebuah Zaken kabinet yang berisi sekelompok teknokrat ekonomi yang di kemudian hari mendapat label sebagai Mafia Berkeley. Mereka adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Mohammad Sadli, J. B. Soemarlin, Subroto. Sebagian besar dari mereka memang pernah mengenyam pendidikan master maupun doktoral di kampus-kampus Amerika, terutama Universitas California Berkeley. Pemimpin tidak resminya adalah Widjojo Nitisastro. Soeharto begitu mempercayai kelompok ini karena dianggap tidak memiliki agenda politik dibelakang.

Terlepas dari kontroversi yang melekat atas pilihan kebijakan ekonomi yang condong liberal, pada kenyataannya para teknokrat ini berhasil membentuk sebuah tim ekonomi dengan tingkat koordinasi dan kerjasama yang begitu baik. Setiap orang mengemban tugas masing-masing namun, tetap dalam koordinasi yang terencana pada satu pokok kebijakan yang telah diambil. Mereka pun memiliki penguasaan ilmu yang berbeda-beda disertai pembagian tugas yang jelas. Widjojo kompeten di bidang perencanaan, menguasai ilmu ekonomi-demografi, dan makro ekonomi. Ali Wardhana di bidang keuangan, reformasi perpajakan, dan moneter; Subroto di penanaman modal; Emil Salim di bidang ekonomi lingkungan; Sumarlin di bidang moneter; Sadli di bidang penanaman modal dan ketenagakerjaan. Di bawah kepemimpinan Widjojo sebagai primus interparis, kelompok ini tumbuh dengan solid dan kompak tanpa adanya keretakan dan persaingan yang keras dalam kabinet.

Soeharto sendiri dikenal sebagai orang yang mengandalkan keyakinannya daripada akal, kata Kuntowijoyo. Keyakinannya terhadap sekelompok ekonom muda ini dimulai saat mereka menjadi pengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) sedangkan Soeharto sebagai murid. Dengan cemerlang mereka mempresentasikan upaya penyelesaian karut marut ekonomi kala itu. Setelah kekuasaan berpindah ke tangan Soeharto, ia memanggil mereka untuk menjadi tim penasihat ekonomi dan kemudian masuk ke dalam kabinet. Di bawah kendali Soeharto mereka membenahi satu per satu ekonomi Indonesia dengan perencanaan, koordinasi dan implementasi yang matang. Mereka mencanangkan program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Ada lima (5) persoalan yang menjadi perhatian utama saat itu, (1) inflasi yang sangat tinggi (hyper inflation); (2) Defisit anggaran belanja; (3) Defisit neraca pembayaran; (4) Hutang pemerintah yang jatuh tempo; dan (5) Hubungan luar negeri dengan lembaga-lembaga multinasional seperti IMF, Bank Dunia, PBB yang terputus.

Menurut Sadli (1993), Widjojo merupakan pemimpin yang sangat tepat untuk tim ini. Widjojo memiliki konsepsi yang lengkap mengenai program ekonomi yang dibutuhkan. Selama bertahun-tahun tim ini tumbuh menjadi kelompok yang kompak di bawah kepemimpinan Widjojo. Widjojo adalah dalang, sedangkan teknokrat ekonomi lainnya adalah wayangnya (Salim, 1997). Widjojo mengandalkan diri pada kawan-kawan teknokratnya, karena mereka memiliki pandangan yang sama tentang perlunya menempuh kebijakan ekonomi yang ideal dan sehat.

Program stabilitasi dan rehabilitasi ekonomi ini menuai hasil yang mengesankan. Hiperinflasi dengan cepat dikendalikan melalui kebijakan moneter dan fiskal yang ketat. Inflasi dapat diturunkan dari 636 persen pada 1966 menjadi 9 persen pada 1970 (Grenville, 1981). Tingginya angka penanaman modal baik asing maupun domestik memicu pertumbuhan ekonomi yang tumbuh dan beranjak positif di awal 1970an. Selama tiga dasawarsa pertumbuhan GDP per kapita Indonesia naik rata-rata 4,5 persen (Thee, 2005). Di samping itu kebijakan masa orde baru dilaksanakan dengan dasar perencanaan pembangunan yang terencana (PELITA), pemenuhan kebutuhan pokok, pembangunan infrastruktur seperti Puskesmas, SD Inpres yang berorientasi pada kesejahteraan (Sjahrir, 1983).

Memperkuat Koordinasi

Problem lemahnya koordinasi antar kementerian sangat mungkin akan kembali menjadi hambatan pemerintahan Jokowi ke depan. Penyakit ini sebenarnya telah muncul sejak pemerintahan pasca-reformasi dikelola dengan sistem dagang sapi. Sebagai contoh, postur kabinet jilid II Presiden SBY berisikan 62 persen orang parpol. Presiden dengan segala hak prerogatifnya untuk memilih orang-orang terbaik justru tersandera kepentingan politik parpol anggota koalisi. Pemimpin hasil rezim pemilihan rakyat ini justru gagap dengan pengelolaan pemerintahan sehingga yang terjadi adalah ajang bagi-bagi kekuasaan. Kursi menteri menjadi korban rakus kekuasaan tersebut. Padahal demokrasi telah menyediakan keleluasaan kepada mereka untuk lebih mempercayai rakyat sebagai koalisi terbaik.

Lemahnya koordinasi sendiri banyak disebabkan oleh tingginya ego sektoral dan ego wilayah serta ketiadaan kemauan politik (political willingness) dari para pejabat politik. Sebagai contoh, dalam kasus agenda kedaulatan pangan, terlihat lemahnya koordinasi antara Kementerian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan lembaga terkait lainnya. Alhasil keinginan untuk mencapai swasembada pangan selalu gagal. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut agar problem ini tidak kunjung terus terjadi.

Patut di apresiasi permintaan Jokowi agar para menteri dari kalangan parpol melepaskan segala jabatan di partai politiknya. Hal ini penting untuk mengurangi terjadinya dualisme kepentingan. Tentu kita tak ingin melihat kasus tertangkapnya menteri-menteri seperti Andi Mallarangeng, Jero Wacik, Suryadharma Ali karena kasus korupsi. Selain itu, perlu adanya ketegasan dari Presiden terhadap kinerja menterinya. Presiden harus berani untuk mengatakan bahwa menterinya gagal atau berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini penting untuk memberikan kepercayaan kepada publik bahwa pemerintah memiliki kemauan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Disinilah letak pentingnya keberadaan kementerian bidang koordinator sebagai wakil dari presiden di kabinet yang bertugas mengkoordinasikan jalannya pelaksanaan program-program kementerian di bawah bidang masing-masing. Rasanya kurang bijak ketika muncul wacana untuk menghapus kementerian ini dari kabinet. Hal yang perlu dilakukan justru adalah penguatan kelembagaan terhadapnya. Selama ini peran kementerian ini diperlemah dengan ditempatkannya orang-orang yang kurang kompeten melakukan koordinasi antar kementerian terkait. Pada masa orde baru, Soeharto cermat menempatkan orang pada posisi menteri koordinator. Pada bidang ekonomi Soeharto selalu mempercayai posisi menteri kepada orang-orang yang memang mengerti dan berpengalaman dalam urusan ekonomi serta memiliki kemampuan memimpin kementerian di bawahnya. Salah satu yang terbilang berhasil adalah Widjojo Nitisastro yang menjabat Menko Perekonomian di tiga kabinet pembangunan.

Sekarang pilihan-pilihan ini kembali kepada Jokowi sendiri selaku kepala pemerintahan. Kita tentunya berharap bahwa Jokowi akan memilih orang-orang yang benar-benar memiliki kompetensi, kemauan politik, serta integritas tinggi untuk memikul tanggung jawab sebagai pelayan publik. Jangan sampai harapan yang besar tadi hanya menjadi penyesalan lima tahunan seperti yang sudah-sudah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun