Mohon tunggu...
Heri Martanto
Heri Martanto Mohon Tunggu... Pilot - Ordinary People

Untuk Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memerdekakan Ruang Udara Indonesia

21 Agustus 2017   18:24 Diperbarui: 22 Agustus 2017   05:35 5356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara dengan bentuk kepulauan yang sangat banyak dan tersebar di berbagai area yang memiliki peran yang sangat strategis dan tantangan tersendiri dalam perekonomian, politik dan stabilitas kawasan. Bagaimanakah pengelolaan sumber daya yang ada di dalam batas territorial negara selama ini baik yang ada di laut, darat dan udara?

Permasalahan selama ini yang menghangat adalah mengenai pengelolaan ruang udara di sekitar Pulau Natuna atau yang dikenal dengan FIR (Flight Information Region). Hal ini selalu menjadi bahan perdebatan, kajian ataupun seminar yang dalam tingkatan perundingan dan aplikasinya selalu gagal dan sampai saat inipun kita belum berhasil memerdekakan ruang udara tersebut ke dalam pengelolaan dan kontrol ruang udara nasional Indonesia.

FIR merupakan suatu ruang udara yang telah ditetapkan dimensinya di mana di dalamnya diberikan Flight Information Servicedan Alerting Service. Flight InformationService adalah pelayanan yang dibentuk dan dipersiapkan untuk memberikan saran dan informasi secara penuh untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan. Alerting Service adalah pelayanan yang diberikan pada organisasi yang berkaitan dengan pesawat terbang/penerbangan yang membutuhkan pertolongan dan membantu organisasi yang membutuhkan bantuan pencarian dan pertolongan.

Peta SWLD.com
Peta SWLD.com
Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan dan atau ruang lautan serta wilayah sekitar negara dan melekat pada bumi dimana suatu negara mempunyai hak yurisdiksi. Ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara merupakan satu kesatuan ruang yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia telah meratifikasi Konvensi Geneva 1944 (Convention on International Civil Aviation) yang berarti bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara yang ada di atas wilayahnya, dan tidak dikenal adanya hak lintas damai. Jadi tidak satu pun pesawat udara asing diperbolehkan melalui ruang udara nasional suatu negara tanpa izin yang bersangkutan.

Terbentuknya FIR didasarkan kepada Konvensi Chicago 1944 khususnya dalam Annex 11 tentang Air Traffic Services. Dalam bagian ketentuan ini menjelaskan bahwa setiap negara ICAO wajib menentukan bagian-bagian dari wilayah udaranya tempat pemberian pelayanan lalu lintas udara untuk kepentingan keselamatan. Setiap negara harus mengatur pelayanan lalu lintas udara, jika tidak mampu maka harus mendelegasikan tanggung jawab tersebut kepada negara lain. Batas FIR tidak harus sama dengan batas administrasi atau batas teritorial suatu negara.

Sesuai Konvensi Chicago Artikel 22, 68 dan Annex 11 Paragraf 2.1, jika suatu negara mendelegasikan ruang udaranya kepada negara lain, maka tanggung jawab terhadap pengelolaan ATS tersebut di atas teritori negara yang bersangkutan, tidak akan mengesampingkan kedaulatan negara yang mendelegasikan. 

Dengan kata lain, negara lain yang mengelola hanya terbatas pada permasalahan teknis dan operasional, dan tidak akan keluar dari konteks keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas yang menggunakan airspace dimaksud. Selanjutnya dibutuhkan suatu perjanjian antara kedua belah pihak yang berisi persyaratan-persyaratan tentang pelayanan yang mencakup fasilitas dan tingkat pelayanan yang akan diberikan.

Diharapkan, negara yang mendelegasikan dapat menerima ketentuan di atas dan tidak akan merubah ketentuan-ketentuan yang telah dibuat tanpa adanya persetujuan dari negara yang memberikan pelayanan lalu lintas penerbangan. Keduanya dapat menghentikan kesepakatan yang telah dicapai sewaktu-waktu.

FIR Indonesia yang ada saat ini terbagi menjadi 2 area, FIR Jakarta di barat dan FIR Ujungpandang di timur. Sejak tahun 1946 dikarenakan perlengkapan dan SDM penerbangan Indonesia yang masih sangat minim saat itu menyebabkan terjadinya pendelegasian pengelolaan FIR di area Kepulauan Riau kepada Singapura dan Malaysia.

Pendelegasian inipun diperkuat dengan kesepakatan RAN I (Regional Air Navigation) pada tahun 1973 di Honolulu, Malaysia menguasai sektor B yang juga bersinggungan dengan sektor A dan C yang dikuasai oleh Singapura. Pertemuan RAN ini diadakan oleh ICAO dengan periode 10 tahun sekali dan hingga pertemuan RAN yang terakhir pun masalah FIR sector A,B dan C masih belum dapat kembali kepada Indonesia.

FIR Malaysia
FIR Malaysia
Pasal 458 UU No. 1 Tahun 2009, Indonesia menegaskan bahwa wilayah udara RI yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak UU tersebut berlaku. UU No 1 Tahun 2009 mulai berlaku tanggal 12 Januari 2009 dan artinya pada 12 Januari 2024, ruang udara Kepulauan Natuna harus beralih dari FIR Singapura menjadi FIR Jakarta.

Pada medio November 2015, Presiden RI telah mencanangkan pengambilalihan ruang udara tersebut dari Singapura dalam 3-4 tahun ke depan. Hal ini menarik dan menjadi perbincangan hangat karena jika mengacu kepada UU No.1/2009 maka pencanangan ini adalah percepatan dari hal yang sudah direncanakan sebelumnya. Persiapan dan kesiapan tentunya harus diselaraskan sesuai dengan instruksi presiden terakhir ini.

Banyaknya pihak yang mengesampingkan bahwa masalah FIR ini menyangkut kedaulatan negara terkesan menunjukkan pesimisme akan kemampuan bangsa ini dalam mengelola ruang udaranya. Memang batas FIR tidak harus sesuai dengan batas territorial, tetapi jika pemerintah Indonesia kemudian menetapkan beberapa batas udara sesuai dengan batas territorial yang ada maka tinggal memerlukan kesepakatan antar negara yang kemudian disahkan oleh ICAO. Dalam hal ini pengendalian wilayah udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna  yang masih berada di bawah kontrol Singapura jelas akan melemahkan Indonesia dalam hal pertahanan udaranya. Indikasi melintasnya black flight di wilayah teritori Indonesia tetapi berada di FIR Singapura akan sangat mungkin terjadi.

Pendelegasian wilayah udara sector A,B dan C sebenarnya menyangkut masalah teknis dan operasional keselamatan penerbangan sipil. Insiden yang pernah mengemuka terjadi pada tahun 1991 dimana pesawat yang mengangkut Jenderal L.B. Moerdani ditolak mendarat di Natuna karena tidak mendapatkan izin dari otoritas penerbangan Singapura. Setelah bernegosiasi akhirnya diizinkan mendarat di Natuna. Menggelikan jika hal ini masih terjadi sampai sekarang, bagaimana bisa seorang pejabat tinggi negara harus mendapatkan izin dari negara lain saat akan melakukan kunjungan kerja ke daerah yang wilayah udaranya dikelola oleh negara lain? Tentunya secepatnya hal ini harus dihentikan.

Dalam hal wilayah udara Indonesia yang masih dikelola oleh pihak asing tentunya Indonesia pun harus mempersiapkan banyak hal antara lain :

  • Mendefinisikan secara jelas mengenai Reallignment wilayah udara yang merupakan batas teritorial Indonesia berdasar UNCLOS 1982. Working Paper No.55 pada tahun 1993 perlu dikaji ulang. Hal ini memerlukan pijakan perundangan mengenai kedaulatan udara Republik Indonesia. Penyempurnaan UU No.1 Tahun 2009 perlu untuk dilakukan agar pemerintah dapat melaksanakan amanat undang - undang secara tegas dan terukur.
  • Pembentukan Task Force Reallignment FIR yang terkoordinasi dibawah kementerian yang ditunjuk. Pembentukan task force ini akan melaksanakan misi realignment secara terpadu baik dalam hal perundingan antar negara ataupun lobi secara internasional di ICAO.
  • Kegiatan bersama sebagai Strategic Partnership antara otoritas penerbangan negara kawasan mengenai pengelolaan FIR. Kegiatan dimaksud sebagai langkah kerja sama kawasan dan mempromosikan keunggulan Indonesia dalam pengelolaan FIR. Premise untuk hal ini sudah jelas menjadi tugas besar insan penerbangan Indonesia karena kita masih memiliki pekerjaan rumah yang banyak dalam memperbaiki hasil audit ICAO USOAP agar jauh melebihi pencapaian rata-rata dunia penerbangan.
  • Membenahi infrastruktur dan SDM penerbangan yang handal, tidak hanya sekedar memenuhi persyaratan minimum yg dipersyaratkan tetapi melebihi dari persyaratan minimum yang ada. Hal ini bermanfaat dalam menjaga kontinuitas dan konsistensi menjaga kualitas mutu penerbangan nasional kita. Perlu diingat jika perkembangan dunia penerbangan sangat pesat dan kita memerlukan manusia dan peralatan yang handal dalam mengikuti perkembangan ini.
  • Membuat policy dan prosedur yang dinamis dalam penerbangan. Seringkali kita menemukan celah dalam hal policy dan prosedur dikarenakan langkah antisipasi yang kurang tajam atas berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di saat pembentukan policy dan prosedur tesebut. Sangat disayangkan jika banyak terjadinya perubahan dilakukan setelah terjadinya suatu permasalahan.
  • Detterent Power yang memadai. Sebagai bentuk konsistensi dalam menjaga kedaulatan negara sangat memerlukan dukungan militer secara nyata. Komitmen pemerintah dalam membangun pangkalan militer di wilayah terluar dan pengembangan wilayah terluar Indonesia sangat diperlukan. Kemampuan negara dalam mengatasi dan melakukan intersepsi terhadap banyaknya black flight di wilayah udara Indonesia sangat diperlukan kehadirannya. Pembangunan pangkalan udara tipe A di wilayah terluar pun harus seiring dengan pembangunan wilayah yang direncanakan. Sudah merupakan suatu doktrin jika keamanan dan pertahanan dilakukan secara selaras dan berimbang antara sipil dan militer.

Konsistensi  dan kontinuitas dalam melaksanakan instruksi presiden mengenai pengambilalihan ruang udara territorial Indonesia yang dikelola oleh negara asing sangatlah dibutuhkan. Reallignment yang dicanangkan memerlukan pemikiran, strategi dan kegiatan yang intens sehingga "memerdekakan" wilayah udara (FIR) Indonesia pada 2019 dapat terwujud. Jika belum terwujud pada tahun 2019 maka kesempatan berikutnya akan jatuh pada RAN meeting tahun 2023 dengan implementasi di tahun 2024 sesuai amanat Undang - Undang No.1 Tahun 2009.

Salam Penerbangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun