Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Bola

Tukang Bisik PSSI Buat Sepak Bola Indonesia Terusik

31 Januari 2017   11:55 Diperbarui: 31 Januari 2017   12:34 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PSSI era Edy Rahmayadi sedang menghadapi masalah besar. Edy Rahmayadi yang dikenal tegas lugas terkesan jinak di tengah mereka yang klaim ‘habis banyak’ dana untuk menyokong suksesnya Pangkostrad duduk menjadi pucuk tertinggi PSSI.

Runyamnya mereka selalu menjadi pembisik yang keliru kepada Pak Edy. Keliru dalam memahami pengelolan sepakbola nasional. Contoh saja, soal Golden Club dimana klub Liga 1 yang mengirim 4 pemain ke Timnas langsung dijamin lolos degradasi. Entah pakai aturan mana sang pembisik itu mengatur hal yang tidak ada aturannya di AFC apalagi FIFA. Kedua, soal batasan umur dalam kompetisi Liga 1, pemain usia 35 tahun keatas hanya dibatasi 2, pemain U23 wajib 5 orang. Jika pemain U23 diambil Timnas, penggantinya wajib dari usai U23.

Jegerr, meminjam kalimat Valentino Simanjuntak, CEO APPI ( Asosiasi Pemain Profesional Indonesia ) saat menjadi host event sepakbola, klub klub kelimpungan. Betapa tidak, namanya liga kasta tertinggi di Negara manapun, basis pengelolannya berorientasi pada keuntungan, atau industri. Tapi, pembisiknya Pak Edy, dengan dalil demi Timnas menghadapi Sea Games 2017 dan Asean Games 2018, aturan itu wajib, ndak peduli industri. Padahal, eksistensi klub bergantung pada pengelolaan tiga sumber pendapatan klub yang harus dikelola dengan rasa industri yakni sponsorship, ticketing dan merchandise.

Dengan berbagai batasan, bagaimana klub bisa berimprovisasi. Tanpa mengenyampingkan kualitas para pemain U23, namun klub akan kesulitan untuk memoles agar pertandingan berkualitas dan menarik animo publik yang sangat tinggi. Karena faktor popularitas dan pengalaman bertanding pemain muda masih harus diuji. Sepertinya para pembisik Pak Edy, tidak berpikir tentang bahwa kompetisi yang berkualitas akan melahirkan pemain yan berkualitas pula. Yang mestinya harus diperbaiki adalah pola pembinaan usia dini yang harusnya dikaji secara komprehensif. Atau biarlah seleksi alam yang berjalan, bila ada pemain U23 yang layak bermain di kasta tertinggi, merekalah yang memang sejak awal mengelola dirinya dengna baik.

Namun, tetap PSSI menyiapkan ajang kompetisi khusus bagi penjaringan pemain berkualitas untuk persiapan U23. Mungkin kompetisi U21 perlu diperbaiki, kompetisi U19 juga perlu digelar. Jangan suudzon kalau klub klub professional tidak perduli. Justru, 18 klub Liga 1 tanpa dikomando akan berburu pemain pemain muda, selain pembinaan juga memberikan atmosfir pertandingan, serta sebagai investasi klub. Investasi artinya akan menjadi pemasukan bagi mklubnya jiga mampu mengorbitkan pemain muda dan laku di bursa pemain. Jadi, ndak perlu dibentengi regulasi, klub sangat paham, mana kepentingan bisnis, manapula kepentingan prioritas Timnas.

Sepertinya pembisik Pak Edy, hanya berkutat bagaimana mencari cara cepat mengembalikan modal politik atas pencalonan Pak Edy. Padahal, jika mengacu pada kompetisi sebelumnya, tinggal dibenahi saja ‘jualannya’ apalagi momentum bangkitnya sepakbola Indonesia sudah direspon positif dunia usaha juga dunia pertelevisian. PSSI cukup mengelola Hak Siar dengan professional, serta susbidi dari APBN, tdan mengembalikantrust organisasi, akan cukup mentereng pemasukan bagi PSSI.

Bukan justru melahirkan kegaduhan kegaduhan yang menjadi pesimis banyak pihak. Apalagi yang pesimis adalah para pengelola Klub, karena Klub itu sendiri adalah subyek untuk melancarkan pemasukan bagi federasi. Bagaimana tidak gaduh, para pembisik menyodorkan proyek mengganti operator kompetisi sebelumnya. Tidak sekedar mengganti tapi merubah sahamnya, sebelumnya klub kasta tertinggi menguasai 99 persen karena memang yang bekerja klub dalam kompetisi, dan PSSI 1 persen karena sebagai pemangku kebijakan. Namun, dengan operator baru bakal dirubah 60 persen PSSI, Klub 40 persen. Jelas, klub menolak dengan tegas, karena justru klub yang bekerja menghidupi kompetisi, mulai belanja pemain, operasional sampai kebutuhan kepanpelan. Meskipun, ada subsidi, tapi subsidi itu hanya mampu mengcover tidak sampai 50 persen total pengeluaran klub dalam mengarungi kompetisi.

Pertanyaanya siapakah pembisik itu ? secara nyata-nyata mereka sering sering tampil, namun tidak menonjol dalam kurun waktu 15 tahun terakhir dalam sepak terjang sepakbola Indonesia. Pengalaman mengelola klub saja tidak ada, apalagi mengelola kompetisi. Ibaratnya, para pembisik Pak Ketum ini seperti mengalami shock culture. Kaget dan bingung,akhirnya membisiki Pak Ketua dengan aturan aturan yang justru jauh dari nilai-nilai sepakbola. Menempatkan PSSI dalam posisi yang bisa diatur oleh seklompok orang yang sudah memodali lahirnya pemimpin baru. Tidak ingat, kalau PSSI itu pemiliknya adala 108 para voter, dan mereka punya kultur organisasi yang tidak bisa disampakan pengambilan keputusannya seperti dalam sebuah perusahaan.

Belum lagi keputusan harus meralat keputusan yang sudah diambil Ketum PSSI soal CEO PT. Liga Indonesia Baru. Figur Iwan Budianto seperti menjadi bamper dalam beberapa keputusan Pak Ketum. Pertama, soal digantinya jabatan Iwan Budianto sebagai Waketum menjadi Kordinator Exco. Kedua, meralat jabatan CEO PT. LIB sebagai operator Liga 1,yang meralat bukan langsung Ketum PSSI, tapi lewat rilis PSSI. Jika ingin menjaga marwah keputusan Ketum PSSI yang punya hak preogratif untuk memutuskan itu, mestinya keputusan Pak Ketum yang disampaikan pas Pelantikan Pengurus Baru PSSI, wajib dijaga. Apalagi, figure IB mendapat dukungan besar dari seluruh klub, karena pengalamannya di sepakbola nasional. Namun, klub menjadi kembali gaduh, harapan PT LIB dibawah IB untuk mempertahankan komposisi saham, serta nafas kompetisi yang lebih professional menjadi kandas, karena ulah rilis PSSI tanpa narasumber.

Karena itu saran kami, pecinta sepak bola nasional,  sadarlah para pembisik Pak Ketum, bahwa sepakbola itu harus menjunjung tinggi sportifitas dan fairplay. Jika kalian tabrak, tunggu waktu saja, PSSI akan menghadapi masalah besar, cita-cita mengantar Timnas berprestasi akan kembali menjadi mimpi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun