Penulis baru saja memarkirkan sepeda motor manual buatan tahun dua ribu delapan di depan kios fotocopy, untuk menggandakan berkas sekaligus menjilidnya. Helm baru setengah lepas dari kepala penulis, ketika dari samping terdengar seorang anak muda memaki dengan suara yang amat keras, melebihi suara knalpot brong yang lagi trend. Makiannya cukup mengagetkan. Matamu…!!!
Sejenak penulis agak terpana. Karena tidak tahu makian ini ditujukan kepada siapa. Dan setelah helm terlepas sempurna dari kepala penulis yang sudah beruban, baru penulis tahu permasalahannya. Ternyata anak muda yang memaki ini, merasa jengkel karena tanpa sengaja kaki kirinya tersenggol knalpot motor yang berada di sebelahnya, yang sama-sama mau keluar dari area parkir depan kios fotocopy yang hari ini kebetulan cukup ramai pengunjung.
Mendengar kata matamu, rasanya penulis pernah familiar mendengarnya. Dalam hitungan detik penulis menjadikan teringat akan kaos oblong jogya yang sering dipakai turis lokal maupun mancanegara. Sebuah kata yang berpadanan dengan kata dagadu, sebuah kata slang dari jogya di sekitar tahun sembilan puluhan, yang mungkin sudah mulai punah saat ini. Penulis sendiripun masih bingung sejarah terbentuknya kata dagadu yang bisa diartikan dengan kata matamu.
Di belahan dunia lain, kata orang mata adalah jendela dunia. Dan itu bisa dibenarkan, sekalipun kita belum tahu dimana jendelanya. Namun apapun, ungkapan itu memang tepat karena mata memiliki peranan penting di dalam perjalanan kehidupan. Karena sebagai salah satu dari panca indera yang sudah Sang Khalik sediakan, tidak berlebihan kalau disebut indera penglihatan begitu mendominasi di dalam kegiatan sehari-hari. Dari terbitnya matahari hingga terbenamnya, bahkan kadangkala sampai jauh larut malam, sehingga bisa dikatakan mata merupakan jendela untuk melihat dunia.
Seperti kemarin sore di tengah turun hujan, penulis bersama beberapa anggota komunitas menjenguk seorang kawan yang baru saja diijinkan pulang dari sebuah rumah sakit swasta yang khusus menangani penyakit mata. Dan karena rumah sakit swasta, tidak semua bisa ditangani dengan pembayaran melalui Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial. Sebuah angka yang cukup fantastis menurut ukuran penulis yang hanya seorang pensiunan Aparatur Sipil Negara disebut kawan penulis untuk tindakan opearsi yang sudah dijalaninya.
Berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada kedua matanya, sambil duduk di kursi tanpa senderan, karena kursi yang ada senderannya sudah penuh kawan-kawan komunitas. Dengan mata yang masih tertutup kain perban dan mika di salah satu matanya, kawan ini berkisah tentang operasi katarak yang baru saja dijalaninya. Sebuah usaha yang dilakukan agar bagaimana kedua matanya bisa bergungsi kembali dengan sempurna di tengah usianya yang beranjak tujuh puluh tahun. Sekalipun tentu saja harus dibayar dengan harga yang mahal. Â
Lewat sinar matanya yang masih belum bercahaya secara utuh, tetapi bisa terbaca juga lewat mata sebagai jendela jiwanya, yang mencerminkan sebagai wajah yang bisa dikatakan jujur apa adanya. Kawan ini terus bercerita tentang awal dan akhirnya dia harus menjalani operasi katarak di kedua buah matanya. Seperti menjadikan sebuah fatamorgana, karena lewat tatapan mata, tidak ada satupun yang bisa ditutup-tutupi. Ini disebabkan karena mata menjadi tempat yang perdana di dalam menangkap dan merespon segala informasi yang diberikan oleh seseorang secara utuh.