Mendung tebal masih saja menggayut di tempat penulis tinggal. Rasanya tinggal menunggu waktu turunnya hujan. Dari teras depan rumah, penulis melihat tetangga depan rumah yang bersiap memberikan makanan burung kicau peliharaannya, yang sudah menjadi kebiasaaan rutinnya. Ada tiga kurungan yang digantung di atas garasi mobilnya. Semuanya terbuka. Tidak seperti kandang burung lomba yang biasanya tertutup rapat dengan kain pembungkus sehingga burungnya seakan tersembunyi.
Mendekat ke tetangga depan rumah penulis sambil berbincang, menjadikannya komunikasi antar tetangga sebagai mahluk sosial bertambah akrab. Tidak berasa penulis sudah bertetangga hampir lima tahun berjalan. Sebuah kurun waktu yang terjalani dengan cepat. Banyak cerita yang sudah penulis dengar dari tetangga depan rumah ini. Entah masalah lingkungan, kesehatan. hubungan antar warga, pembangunan ataupun cerita yang membuat geleng-geleng kepala.
Sambil membersihkan kandang burungnya satu per satu, tetangga berkisah tentang seorang tetangga dari blok lain, yang membuat emosi tinggi, dan darah mendidih. Merunut dari kisahnya, penulispun mendadak terbawa emosi juga. Karena sepanjang hidup bertetangga, tetangga ini belum pernah sedikitpun membahas kasus ini. Semuanya seperti tertutup rapat dan tersembunyi di balik rasa kedongkolan yang tertahan.
Sedikit menarik mundur ke belakang, tetangga ini mulai mencoba membuka rasa sakit hatinya terhadap tetangga lain blok, sebut saja si B yang sudah tega menipunya senilai ratusan juta rupiah yang sejatinya dia tabung buat persiapan kuliah anaknya di kota gudeg, Yogyakarta. Memang pada awalnya si B ini rajin beranjangsana ke rumah tetangga depan rumah penulis ini. Lambat laun bergaul akrab, karena sama-sama pendatang dan penghuni baru di komplek perumahan, membuat salah satu terlena. Dan yang lain membuat mimpi indah yang berwarna di hadapan tetangga depan rumah.
Pada mulanya hanya pinjam jutaan rupiah saja, dengan alasan sebagai modal bisnis. Kemudian berjalannya waktu, tetangga depan rumah ini diberi mimpi untuk bekerja sama menjalankan bisnis dengan keuntungan yang menggiurkan dengan si B. Karena bertaruh dengan nilai kepercayaan dan imannya kepada Sang Khalik, tanpa disadari tetangga penulis ini menuruti apa yang diminta si B. Dan akhirnya nilainya menjadi sungguh fantastis. Ratusan juta rupiah ambyar hilang entah kemana.
Penulis menjadi terbengong-bengong saat mendengarkan kisah pilu ini. Bukannya masalah ini tidak diurus, tetapi ternyata yang menjadi korban penipuan di perumahan penulis tinggal tidak sendiri. Banyak tetangga kanan-kirinya yang menjadi korban penipuannya. Mulai dari puluhan juta hingga mencapai angka di atas satu milyard.
Mungkin ada maksud baik, kalau saja si B mau berniat mengembalikan uang milik tetangga yang sudah dimakan mentah-mentah, dengan ucapan basa-basi yang tidak menyakiti hati sesama. Tetapi ini sungguh berbalikan dengan etika, seperti yang sedang diperbincangkan di debat pemilu. Bahkan sungguh tidak beretika, ketika si B ini pergi begitu saja, dengan meninggalkan isteri dan anaknya tanpa kabar yang jelas.